Rabu, 27 Februari 2008

PENA KI SUNDA


Oleh Muhammad Zia Ulhaq NR.


Ati-ati padang ati/ budak leutik bisa ngaji/ ngajina ka tungtung ati

Bear padang bear catang/ bear sajeroning ati

Pupujian diatas adalah bacaan yang digunamkan seseorang sebelum tidur agar ilmu yang dipelajari di siang hari terus terlintas di kepala. Agar terus teringat dan kuat dalam hapalannya. Hapalan pun akan semakin kuat dan terikat dengan tulisan. Tulisan yang tidak bisa dilepaskan dari pena dan lembaran kertas untuk mengembangkan dan memikirkan suatu keadaan. Keadaan yang kadang untuk dibiarkan dan kadang membutuhkan jawaban. Melalui pena inilah segala sesuatu menjadi ilmu dan bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Ilmu yang dibaca dan dipelajari dari alam ini, sebagai guru utama manusia. Alam dengan segala isinya adalah Adi Guru bagi manusia yang peduli akan diri dan lingkungannya. Alquran menyebut pena dalam ayat-ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad: “Bacalah! Dan Tuhanmu adalah Maha Pemurah, yang mengajar melalui pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS 96: 1-5) Dalam menafsirkan ayat di atas, Sachiko Murata dalam bukunya The Tao of Islam, mengatakan Pena mempunyai dua wajah.

Dua wajah bisa ditafsirkan sebagai dualisme, yang banyak dianut dalam pemikiran religi budaya mitis-spiritual Sunda, karena semua keberadaan ini selalu terdiri dari dua unsur yang saling bertentangan. Dualisme yang paradoks, saling bertentangan dengan karakter yang berbeda. Dua modus keberadaan inilah maka kehidupan akan terus mengada dan bertahan. Penyatuan dua unsur paradoks merupakan syarat mutlak keharmonisan dalam kehidupan di alam semesta. Upaya kesatuan dasar antagonistik dalam suatu sistem keberadaan yang bertujuan pada keharmonisan, ketertiban, dan kestabilan kosmos dan kosmis. Sebagai contoh, dalam cerita pantun, kesempurnaan kosmis (manusia) terjadi setelah adanya penyatuan dualitas yang bertentangan, tanda telah terbentuknya suatu keharmonisan dan kesempurnaan.

Sebagai bagian kosmis, fenomena Ki Sunda pun memiliki Pena dengan dua wajah. Dengan satu wajah dia menatap Realitas Mutlak Pengatur Kosmos. Dengan pena ini Ki Sunda berkata; Uncuing nyayang di darat/ Dipakanan ku caladi/ Tada teuing di akherat/ Di takon Gusti Yang Widi. Realitas Tertinggi dihayati sesuai dengan pemahamannya yang dirangkai dalam bahasanya. Segalanya berasal dari satu, semua perbedaan akhirnya merupakan bukti kekuasaan dan ketinggian dari Yang Satu. Tuhan pun, melihat ke-Mahasempurnaan Kekuasaan-Nya dalam keanekaragaman ciptaan-Nya.

Dengan wajah yang lain, Pena Ki Sunda menatap kepada lembaran yang berada di bawah-Nya, yaitu kosmos, lembaran kehidupan alam semesta dengan segala isinya. Wajah pena selalu menatap alam semesta, dan berusaha merenungkan hakekat dirinya di antara keluasan alam ini, antara bumi tempat berpijak dengan tingginya langit yang Ki Sunda tatap, antara pengetahuan dan ketidaktahuannya. Sebagai orang Sunda, tempatnya adalah alam di mana kesundaannya hidup dan berkembang. Lembaran ini adalah tentang orang Sunda, karena bagi orang Sunda segala hal tentang dirinya adalah Sunda.

Lembaran ini pun menghasilkan pertentangan, dualisme antagonis. Karena dengan bergulirnya waktu dan berubahnya zaman, kehidupan Sunda pun mengalami perkembangan. Terjadi dua unsur yang paradoks, antara sejarah primordial kesundaan dan kesundaan dalam realitas kekinian. Lembaran pertama merupakan model kesundaan yang asli, sebagai model Ki Sunda yang kental dengan tradisi kearifan kesundaannya, baik terhadap alam atau pun kepada sesamanya. Lembaran kedua merupakan masa kekhawatiran, di mana zaman dirasakan akan melindas kesundaan Ki Sunda. Kearifan Sunda yang tersimpan dalam kebudayaannya terlupakan di depan mata orang Sunda sendiri, yang sadar atau pun tidak, fenomena inilah yang terjadi.

Ahmad Gibson Al-Busthomi melihat fenomena amnesia Sunda, lupa akan kesundaannya, ibarat anak lupa akan orang tuanya sebagai gambaran dari ironi Pun Boncel. Cerita epik Pun Boncel, bermula anak desa yang meninggalkan Ibu dan kampung halaman, lalu menjadi pengembala kuda dan akhirnya menjadi seorang bangsawan. Ketika kesuksesan telah diraih, ia mencampakkan dan tidak mengakui ibunya. Akibat hujatan sang ibu terhadap laku anaknya, Pun Boncel sakit keras. Saat kesadaran dan keinsafan hadir dalam hati dan pikiran pun Boncel, ia pun berusaha mencari dan menemukan kedua orang tuanya. Namun apa yang ia temukan hanyalah dua gundukan tanah merah, kuburan kedua orang tuanya. Pun Boncel meradang; penyesalan selalu datang terlambat. Ia sakit dan meninggal dengan penuh penyesalan yang tak akan pernah menemukan titik akhirnya.

Dengan Pena-nya Ki Sunda sadar dan bergegas menegaskan bahwa cukup sampai Pun Boncel yang meradang dan menyesal karena keterlambatan dalam menyadari kesalahan. Lalu siapakah yang dilupakan oleh orang Sunda? Dalam kosmologi Sunda, ibu merupakan unsur langit yang turun ke bumi dan menjadi inti sari Bumi dan ia adalah cahaya langit (Sunan Ambu), dan dunia adalah tempat bagi manusia menemukan dan mengaktualisasikan jati dirinya. Maka yang dilupakan adalah inti sari dirinya sebagai orang Sunda, di mana kesundaannya adalah bagian dari ketetapan Tuhan. Dan Tuhan menempatkan Ki Sunda dalam kosmos kesundaannya yang akan mewarnai semua bentuk kehidupannya. Berubah ‘baju’ tidaklah mengharuskan berubahnya jati diri, bahkan jati dirilah yang menjadi akar kuat dalam menentukan eksistensi.

Sebuah kosmos kesundaan tanpa Ki Sunda tidaklah bisa dibayangkan dan dipahami, sebab hanya merekalah yang bertindak selaku lokus atau tempat manifestasi Sunda. Hanya dalam diri “manusia” sajalah, menurut definisi ini, citra Sunda terefleksi secara penuh. Hanya dalam diri mereka “Khazanah Tersembunyi Sunda” seharusnya dapat diperlihatkan dan ditampakkan dalam ragam asli dan kecemerlangan yang nyata. Manusia adalah poros dan sumbu kosmos, yang disitu segalanya berputar. Mereka harus melakukan fungsinya dalam menengahi dan menciptakan kedamaian serta harmoni dalam segala sesuatu. Namun, secara paradoks, karena manusia mendapatkan bagian dari kebebasan-Nya, maka mereka pun bebas mengelak dan mengabaikan tanggung jawab, mengacaukan harmoni, dan merusak alam semesta.

Tidak ada kerusakan dan hilangnya kesundaan (baik alam dan manusianya) bisa terjadi, kecuali karena hanya manusialah yang memiliki kebebasan untuk memilihnya. Karena sentralitas dan sifat serba menyeluruh (jamiyyah) situasi manusia, maka hanya manusia sajalah yang bisa mengacaukan harmoni atau keselarasan dan keseimbangan yang terjalin secara natural. Apa pun yang terjadi terhadap Sunda dengan segala kekayaannya, menjadi tanggung jawab orang Sunda di mana pun mereka berada.

Untuk menemukan dan mempertahankan jati diri Sundanya, sebagian Ki Sunda ada yang tetap mempertahankan tradisi primordial Sunda yang dianggap sebagai referensi kebudayaan yang “asli”. Pengertian “asli” ini dimaksudkan dalam usaha mencari keotentikkan budaya Sunda di saat mulai terkikis dan terlupakan. Sebagian lain, ada yang berusaha menafsirkan tradisi kearifan Sunda untuk digunakan dalam memahami fenomena Sunda kekinian, yang berkaitan dengan masa depan kehidupan budaya Sunda. Ada Ki Sunda yang berusaha mengamati dan mengkomentari fenomena kesundaan yang berhadapan dengan kemajuan zaman. Terdapat pula Ki Sunda yang berusaha memahami dan menafsirkan tradisi kearifan budaya Sunda dengan tradisi kearifan dalam agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat etnik Sunda, yaitu agama Islam.

Semuanya berbeda cara dan jalan dalam berusaha mempertahankan Sunda, tergantung pada sudut pandangnya melihat Sunda. Tetapi semua Ki Sunda sepakat, “Khazanah Tersembunyi Sunda” harus terus digali dan dipahami agar dapat mewarnai dan menemukan ciri khas kesundaan pada sekarang, dengan mempertahankan jati dirinya dan menguatkan akar budayanya. “Khazanah Tersembunyi Sunda” harus terus ditafsir dan dipahami, ibarat ruh yang membutuhkan badan dan raga untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Seperti yang dikatakan Rumi dalam Matsnawi:

Ruh tak bisa berfungsi tanpa badan, dan tanpa ruh, badan layu dan dingin.

Badanmu tampak dan ruhmu tersembunyi:

keduanya inilah yang mengatur urusan dunia.

Demikianlah perjuangan Ki Sunda dengan Pena-nya. Ki Sunda Baheula mempertahankan Sunda dalam bentuk pantun, kisah pawayangan, sisindiran, babat, wawacan, tarian, nyanyian, bangunan, pantangan, permainan, adat istiadat, dan sebagainya. Maka Ki Sunda Kiwari berusaha menafsirkan, menggali, dan memahami apa yang telah tertulis dalam bentuk lembaran atau pun dalam bentuk prilaku kehidupan yang terpancar dalam kearifan kehidupan masyarakat Sunda di bumi Priangan ini.

Pena Ki Sunda akan selalu melihat Realitas Mutlak sebagai Tuhannya, alam semesta sebagai bagian dari kosmologinya, tradisi primordial yang terekam dalam berbagai bentuk sebagai khazanah budayanya, serta keadaan Sunda yang dihadapkan pada kenyataan, ketika sulitnya menemukan identitas kesundaan di antara besarnya pengaruh zaman. Tinta Pena Ki Sunda akan terus mengalir seiring kepedulian orang Sunda terhadap dirinya, karena dia adalah pusat (pancer) atas segala yang berkaitan dengan kehidupannya. Wallahu a’lam.


Penulis adalah peminat dan pemerhati budaya Sunda.

Mahasiswa Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan partisifan Studi Budaya Sunda Pasamoan Sophia Bandung.

Tidak ada komentar: