Rabu, 27 Februari 2008

DONGENG POE: MITOS TERJADINYA HARI


ku Zya Thea

Mitos adalah suatu hal yang lumrah dalam suatu masyarakat. Demikian halnya dengan Mitos Terjadinya Hari atau Dongeng Poe ini. Cerita ini dituturkan oleh seorang sesepuh di Desa Girimekar. Abah Ganda, seorang tua yang telah beruban dan melanglang buana di masa mudanya untuk memuaskan kepenasaran dalam hal ilmu dan laku. Cerita ini dituturkan dengan lagu, yang semula penulis menyangka sebuah pantun. Tetapi wajar karena beliau juga sebagai juru pantun.

Pun ampun, sanes nyieun catur taya dapur!

Maaf, bukan berani bercerita dongeng yang tidak ada sumber jelasnya!

Mungkin ini hanyalah suatu dongeng belaka, tetapi penulis menganggapnya sebagai suatu kreasi cipta dan rasa seorang Sunda, seorang intelektual lokal (lokal genius) dalam suatu masyarakat Sunda. Yang mungkin terabaikan ditengah kemajuan zaman yang terus menyeret budaya dan tradisi asli suatu masyarakat ke alam jurang kematian. Yang mencabut akar budaya dari seseorang, hingga kahilangan budaya tempat dia berpijak di tanah kelahiran.

Adanya hari bermula dari Rabu, yaitu dengan nama Robayah. Robayah merupakan Inding Poe atau Ibu Hari. Dari hari Rabu-lah lahir hari-hari yang lain, bermunculan dan bereksistensi dalam dunia manusia. Untuk menghasilkan ketetapan kosmos dalam kosmologi waktu di dunia manusia, maka Robayah harus menyatukan antara dunia atas dan dunia bawah bertujuan untuk keharmonisan dunia tengah, dunia tempat manusia hidup.

Suami pertama adalah Jumantawal dari Naraga Ujung Lautan. Perkawinan dari Robayah dan Jumantawal (Rebo dan Jum'ah) menghasilkan keturunan pertama, yaitu Senen. Setelah mendapatkan keturunan, pada suatu hari Jumantawal yang berasal dari Nagara Ujung Lautan memutuskan untuk meninggalkan Robayah dengan alasan ingin mencari ilmu. Akhirnya keinginan itu disetujui oleh sang isteri, Robayah.

Setelah kepergian Jumantawal, Robayah bertemu dengan Salasa. Salasa berasal dari Nagara Baratang Geni. Perkawinan antara Robayah dan Salasa menghasilkan keturunan yaitu Ahad. Pada suatu waktu, Salasa pun mempunyai keinginan yang sama dengan sumi Robayah yang pertama untuk menuntu ilmu pergi meninggalkan Robayah. Dengan tulusakhirnya Robayah pun mengizinkan kepergian suaminya yang kedua itu, yaitu Salasa dari Nagara Baratang Geni. Setelah ditinggalkan suami pertama, Jumantawal dan disusul dengan kemunduran suami kedua, Salasa. Robayah mempunyai dua keturunan, yaitu Senen dan Ahad.

Akhirnya suatu masa Robayah bertemu dengan Kemis, yang berasal dari Nagara Atas Angin. Pertemuan Robayah dengan Kemis, akhirnya menghasilkan keputusan untuk hidup bersama selamanya. Keduanya memutuskan untuk menikah, dan dari perkawinan yang ketiga, Robayah, Sang Indung Poe, mempunyai keturunan yang ketiga dengan nama Saptu.

Maka perjalanan kehidupan perkawinan Robayah tejadi dalam tiga kali. Dari suami pertama, Jumantawal dari Nagara Ujung Lautan, menghasilkan anak pituin (anak kandung) yaitu Senen.

Dari suami kedua, yaitu Salasa dari Nagara Baratang Geni, menghasilkan keturunan (anak pituin) yang bernama Ahad. Salasa adalah maru bagi Jumantawal dan Senen adalah anak tere (tiri) bagi Salasa. Demikian juga Senen terhadap Ahad adalah saudara tiri (dulur tere).

Dari suami yang ketiga, yaitu Kemis dari Nagara Atas Angin, mempunyai anak pituin yang bernama Saptu. Dan dengan Kemislah Robayah tidak menikah lagi dan hidup langgeng bersama dengan anak-anaknya. Maka Kemis merupakan maru bagi Jumantawal dan Salasa. Demikian halnya Senen dan Ahad adalah anak tiri dalam asuhan sang ayah, yakni Kemis. Saptu yang merupakan anak kandung bagi Kemis, dan merupakan saudara tiri bagi Sene dan Ahad.

Inilah mitos terjadinya hari-hari yang kita kenal. Tokoh mitos pertama diatas adalah Robayah yang merupakan Indung Poe, maka dikenal dengan hari Rabu atau Rebo. Hari Rabu adalah rujukan pertam dalam suatu perhitungan (Palintangan) yang berkaitan dengan Uga (ramalan), baik tentang nasib baik, jodoh, maupun tempat tinggal.

Selain itu menjadi hari pertama untuk mengetahui jatuhnya hari dalam bulan tertentu untuk tahun depan (naktu wendu/ windu). Hitungan Wendu adalah putaran setiap delapan tahun (satu windu) dan tiap-tiap tahun mempunyai kategori masing-masing. Sebagaimana kita kenal tahun Je, tahun Alif, dan seterusnya.

Tokoh mitos kedua adalah Jumantawal dari Nagara Ujung Lautan, maka dikenal dengan nama hari Jum'ah atau Jum'at. Jum'at ini mempunyai anak kandung yaitu Senen (poe senen) atau hari Senin.

Tokoh mitos ketiga adalah Salasa dari Nagara Baratang Geni, dan dikenal dengan hari Salasa atau Selasa. Dari Selasa ini mempunyai anak kandung yaitu Ahad (poe Ahad) atau hari Minggu.

Tokoh mitos keempat adalah Kemis dari Nagara Atas Angin, dan dikenal dengan poe Kemis atau hari Kamis. Kamis mempinyai anak kandung yaitu Saptu (poe Saptu) atau hari Sabtu.

Bila mengikuti papat kalima pancer, maka terdapat empat ruang yaitu, Nagara Ujung Lautan (Jumantawal), Nagara Baratang Geni (Salasa), Nagara Atas Angin (Kemis), dan tempat anak-anaknya (Senen, Ahad, Saptu). Keempat ini berada di empat penjuru mata angin. Maka pancernya adalah Robayah, sebagai pelengkap adanya tujuh hari.

Selain itu arti dari tempat asal para suami Robayah merupakan unsur-unsur bahan penciptaan, yaitu Air, Angin, Api, dan Bumi. Nagara Ujung Lautan menandakan unsur air, Nagara Baratang Geni menandakan unsur Api, Nagara Atas Angin berunsur udara, sedangkan unsur Bumi mungkin ditandai oleh Robayah, sebagai tempat lahir dan munculnya Saptu, Ahad, dan Senen. Maka penciptaan dari empat unsur inilah terjadinya hari menghasilkan keadaan kosmos bagi dunia manusia.

Rabu atau Robayah merupakan simbol dari keibuan atau feminis, dalam tradisi Pantun Sunda jenis wanita atau ibu diidentikkan dengan dunia langit. Jakob Sumardjo (Artefak Budaya Sunda, hal 96) mengatakan, "Sakti adalah daya kekuatan, daya rohani, kreativitas suaminya." Ada hal yang mengherankan, yaitu fenomena Robayah dan Sunan Ambu. Sunan Ambu adalah tokoh yang sering disebut-sebut, khususnya dalam pantun

Jakob Sumardjo merumuskan bahwa Sunan Ambu adalah ibu kedewataan yang agung dan penuh kuasa. Ambu adalah ibu, yang dimaksud ibu adalah ibu yang bersifat keilahian. Dalam agama Hindu-Siwa-Tantra dikenal adanya sakti dewa, yang artinya Istri Dewa. Mereka adalahdaya kreativitas dewa-dewa. Istri adalah sumber energi, sumber daya kreatif para dewa dan raja. Sunan Ambu mempunyai pengertian kehidupan, pemeliharaan, penyelenggara keberadaan, dewi cinta kasih. Sunan Ambu memiliki karakter penolong manusia, penuh cintaa kasih atas penderitaan manusia.

Selain dikenal Nyi Pohaci atau Sri Pohaci yang banyak jumlahnya, yang berarti sari keperempuanan. Tugasnya adalah kepanjangan tangan dari Sunan Ambu untuk kesejahteraanmanusia dam memelihara kebutuhan mereka. Lalu mengapa Sunan Ambu dan Nyi Pohaci yang bertanggung jawab atas kasih sayang dan kesejahteraan manusia di Dunia Tengah? Jawabannya ada di siloka pantun Panggung Karaton, yang menyebutkan azas dunia manusia sebagai kalakai pare jumarum (laki-laki) dan azas Dunia Atas sebagai kekembem layung kasunten, azas perempuan. (hal 243)

Robayah, seorang perempuan adalah sakti bagi suaminya, daya kreatif kesemestaan. Robayah adalah unsur perempuan yang memiliki sifat keilahian. Karena unsur perempuan adalah unsur Dunia Atas, hingga kesejahteraan dan kelangsungan hidupyang berkaitan dengan manusia, salah satu caranya adalah terjadinya penyatuan antara unsur Dunia Atas kepada Dunia Bawah.

Mengapa harus dengan Dunia Bawah? Inilah uniknya, karena Mitios ini berkaitan dengansuatu penciptaan awal, dimana ketika itu hari belumlah lengkap, karena yang ada adalah Robayah, Jumantawal, Salasa, dan Kemis. Artinya belum mapapat kalima pancer! belum membentuk suatu kesempurnaan. Demi mencapai kesempurnaan, maka Robayah harus menglami penderitaan dan cobaan.

Tingkat manusia hakekat adalah "teu nanaon kunanaon", "tidak apa-apa oleh apa-apa". Robayah diuji dengan menerima dan ikhlas ditinggalkan oleh suami-suaminya setelah adanya keturunan dari tiap perkawinan dengan mereka. Selain itu (dalam pandangan perempuan sekarang) seorang wanita harus menerima pengunduran suami dari kehidupannya dan harus menjalani beberapa kali pernikahan membutuhkan suatu kesabaran dan sikap lapang dada yang luar biasa supaya keadaannya tetap stabil. Karena Robayah sendiri adalah indung poe atau ibunya hari yang harus tetap dalam keadaan stabil agar menciptakan sesuatu yang cosmos. Maka Robayah, sebagai Indung Poe telah melakukan proses "Laku" untuk mencapai suatu hakekat kesempurnaan.

Unsur Dunia Bawah, yaitu tokoh Jumantawal, Salasa, dan, Kemis bukan tokoh domenic chaos. Mereka memiliki unsur keilahian meskipun terdapat di Dunia Bawah.Sebagaimana dalam pantun Guru Gantangan (Hermeneutika Sunda,hal 18), terdapat tokoh Batara Nagaraja yang berada di Dunia Bawah dan mempunyai putri tunggalnya Payung Kancana, yang dinikahkan dengan Guuru Gantangan.

Selain itu untuk menyempurnakan hari, maka lahirnya hari-hari yang baru harus perpaduan antara unsur-unsur keilahian atau unsur kesempurnaan, demi keharmonisan dunia manusia. Ini terbukti bahwa Jumantawal dan Salasa diceritakan harus pergi dengan tujuan untuk mencari ilmu. Maka mereka mencapai tingkat kesempurnaannya dengan tarekat "Ilmu", sedangkan Robayah melakukan tarekat "Laku".

Kemudian bagaimana dengan suami ketiga, Kemis. Dalam cerita itu, tidak dikisahkan lagi perpisahan antara Robayah dan Kemis, tidak seperti yang terjadi dengan suami pertama dan keduanya, Jumantawal dan Salasa. Robayah dan Kemis harus sama-sama mellakukan tarekat "Laku", dengan mengasuh dan hidup bersama ketiga anaknya, satu anak kandung (Saptu) dan dua anak tiri. Selain itu Kemis diuji dengan keberadaan dua anak tiri dan menerima kenyataan bahwa Robayah merupakan janda, yang sebelumnya telah menikah dengan Jumantawal dan Salasa.

Adapun anak-anaknya, Senen, Ahad, dan Saptu (bila diurut maka sesuai dengan perputaran hari, yaitu Sabtu, Ahad, dan Senin) mereka diuji dalam menjalani hidup bersam saudar-saudara tiri, yang tiap-tiap anak berasal dari bapak yang berbeda. Mereka melakukan tarekat "Laku", karena ditantang harus tetap stabil demi kelangsungan hidup manusia agar tetap dalam keadaan cosmos, harmonis. Perkawinan Dunia Atas dan Dunia Bawah bertujuan untuk kesejahteraan dunia tengah, agar kosmologi waktu manusia tidak chaos.

Dalam Palintangan Sunda, ketiga hari ini adalah hari yang dianggap tidak cocok jika seseorang ingin mempunyai jodoh, yang hari lahirnya berhubungan dengan ketiga hari tersebut, yaitu Sabtu, Ahad, dan Senin. Hal ini karena sekalipun mereka telah sempurna dengan tarekat "Laku", tetapi ada chaos yang terpendam, sehubungan dengan adanya ikatan saudara tiri.

Hal tersebut pun berlaku terhadap hari Jum'at, Salasa, dan Kemis. Karena satu dengan yang lainnya adalah maru (saingan), terdapat ketidakharmonisan sekalipun mungkin diminimalisir.Kesempurnaan semua tokoh mitos ini dengan melakukan tarekat "laku" dan "Ilmu" agar tetap dalam keadaan yang teratur dan stabil (kosmos). Terkecuali bagi hari Rabu, karena Rabu adalah Ibu dan Istri bagi hari-hari yang lainnya. Maka seseorang yang terlahir di hari Rabu dianggap cocok berjodoh dengan hari manapun.

Akhirnya dari Dongeng Poe, sempurnalah semua menjadi tujuh hari, dan tiap-tiap hari telah diuji dengan cara berbeda sesuai dengan keadaannya, yaitu melalui metode "Ilmu" dan "Laku". Metode Ilmu dan Laku sangatlah berhubungan, dan keduanya tidak bisa dipisahkan kecuali mungkin diprioritaskan salah satunya. Ilmu bisa terjadi karena adanya Laku. Ilmu tanpa Laku tak berguna, Laku tanpa Ilmu tak bermanfaat. Maka keduanya harus terjalin harmonis, agar berguna dan bermanfaat, stabil dan teratur.

Kemudian mengapa tujuh. Angka tujuh adalah angka istimewa. Sering disebut dalam pantun yang berkaitan dengan Dunia Atas, disebut Jabaning Langit Ketujuh seperti dalam Mundinglaya. Dalam Jaka Sabeulah disebut Tujuh Lapis Surga dan Sunan Ambu diceritakan memanggil penghuni ketujuh lapis surga tersebut. Karena berkaitan dengan kosmosnya dunia manusia, maka hari haruslah tujuh. Karena tujuh adalah angka kosmos dalam alam Dunia Atas.

Dalam dunia manusia, seseorang biasanya menyumpahi kepada lawannya sampai tujuh turunan, ini merupakan chaos bagi yang disumpahi. ataupun kepercayaan dalam dunia mistik, terdapay ilmu yang khadamnya (penjaga) terus berpindah kepada anak cucu si empunya ilmu tersebut sampai tujuh turunan tanpa harus melakukan suatu ritual. Apabila keturunan kedelapan ingin mempunyai ilmu tersebut, maka harus diruwat. Yaitu melakukan suatu tirakat atau ritual tertentu, baru ilmu tersebut berlanjut sampai tujuh keturunan dimulai dari keturunan yang kedelapan tersebut (yang diruwat).


Philoshopi Hari: Ngaji Diri Ngaji Rasa

Manusia merupakan perpaduan dari empat unsur, yaitu unsur tanah, air, udara, dan api. Maka empat unsur yang merupakan bagian dari pembentukan makro kosmos terdapat dalam diri manusia selaku mikro kosmos. (Kebatinan Indonesia, hal 64)

Rasionalisasinya demikian, bahwa manusia makan tumbuhan, maka tumbuhan berasal dari tanah. Kehidupan tumbuhan membutuhkan empat unsur tersebut, berada didalam tanah, butuh panas matahari untuk melakukan pembakaran dalam daunnya, butuh oksigen, dan air demi kelangsungan hidupnya. Maka apalagi manusia, butuh lebih dari itu!

Dialah Tuhan yang telah menciptakan bumi untukmu, merupakan hamparan bagimu. Menciptakan langit (bintang dan planet) yang merupakan satu bangunan yang menikat satu sama lain, dan menurunkan air dari awan, lalu air itu mengeluarkanbuah-buahan sebagai rezeki bagimu. Maka janganlah kamu membuat sekutu (bandingan) bagi Allah, sedangkan kamu mengetahuinya. (Q.S. Albaqarah, 2:22)

Keadaan makro kosmos, keharmonisan kosmologi waktu di dunia atas pun tergambar dalam diri manusia selaku mikro kosmos. satu tahun yang berjumlah dua belas bulan, sebenarnya ada didalam diri kita. dalam satu tangan ada tiga tempat sambungan tulang, yaitu pergelangan tangan, sikut, dan bahu. berarti sepasang tangan semuanya berjumlah enam. demikian pula dengan kaki. yaitu pergelangan kaki, lutut, dan pinggul. maka dalam tubuh,sepasang tangan dan kaki berjumlah dua belas, disanalah dua belas bulan dalam satu tahun.

Kemudian dalam satu bulan ada tiga puluh hari, maka itu ada di telapak tangan kita. satu jari mempunyai tiga buku, satu telapak tangan mempunyai lima belas buku (pertemuan tulang jari), bila kedua belah telapak tangan maka jadilah tiga puluh buku. Maka tiga puluh hari berada dalam genggaman tangan manusia.

Lalu dalam satu minggu terdapat tujuh hari. Tujuh hari berarti tujuh lubang di kepala manusia, yaitu kedua lubang telinga, kedua belah mata, kedua lubang hidung, dan satu lubang mulut. Maka satu minggu pun berada di kepala kita. Hal ini mengingatkan kepada pantun Mundinglaya Di Kusumah, ketika Dewi Asri melakukan semedi agar bisa berjodoh sesuai dengan kehendak langit. Maka Dewi Asri bersemedi, nutup Ajipancadria. Panca berarti lima, dan dria berarti angen-angen/ palawangan. Artinya menutup lima lubang (palawangan), yaitu hidung, telinga, mata, dan mulut.

Neneda kanu kawasa/ nyepi diri nutup adji pancadria/ Panca lima dria angen-angen kanyataannana nutup lima palawangan/ Pangangseu teu dianggo ngangseu/ Pangrungu teu dianggo ngadangu/ Paninggal teu dioanggo ngucap/ Cengeng manteng kanu Kawasa/ Sidakep sinuku tunggal/ atuh gening muji dikir

(Tjarita Mundinglaya Di Kusumah, Ajip Rasidi, 1970:95)

Kenapa dalam semedi ini hanya disebutkan enam lubang dan mata disatukan dengan mulut (paninggal teu dianggo ngucap)? Hal ini bisa dirasionalisasikan, karena kedua mata dan mulut jelaslah mudah ditutup dengan digerakkan oleh Dewi Asri. Yang sulit dan butuh konsentrasi tinggi adalah menutup empat lubang (telinga dan hidung), karena ditutup bukan dalam arti normal, tetapi dalam pengertian batini.

Lalu bagaimana dengan mulut? Mulut berkaitan dengan kehidupan manusia, mulut adalah pintu makan dan minum. Melalui mulutlah segala segala sesuatu masuk sebelum melewati Sanghyang Tikoro (tenggorokan). Dari Sanghyang Tikoro inilah segala nafsu dan keinginan manusia muncul, berkaitan dengan berjalannya kehidupan manusia dengan terpenuhinya kebutuhan makan dan minum. Maka semedi menutup palawangan mulut haruslah dengan upaya yang keras dan sungguh-sungguh. Dan tetulis dalam pantun bahwa mulut bukan sibuk mingisi perut, tetapi ditutup dengan memperbanyak muji dan dzikir kepada Nu Kawasa!

Di dalam mikro kosmos manusia, maka tujuh hari, minggu, bulan, dan tahun berada di dalam dirinya. Manusia tak bisa lepas dari peristiwa yang terjadi di jagat Gede, makro kosmos. Alam semesta tergambar didalam diri manusia, dia adalah axis mundi bagi dirinya untuk mencapai Dunia Atas. Dirinya adalah simbolisme pusat untuk mencapai kesempurnaan dan keselarasan dengan alam semesta, dengan kehidupan yang berada di tujuh lapis langit dan tujuh lapis surga.

Demikianlah penafsiran tentang Dongeng Poe. Semua metode dipakai untuk bisa menjelaskan dan mengalirkan penafsiran terhadap mitos ini dalam mencari makna baru. Hingga bisa menjelaskan alam pikiran Sunda Lama, karuhun sebelum kita. Philosofi keseharian mereka yang selalu menyelaraskan kehidupan manusia yang profan dengan kehidupan para Hyang dan dengan kehidupan Dunia Langit. Hingga semua kejadian di alam manusia, baik bencana ataupun berkah, tidak lepas dari campur tangan mereka dan tindakan Dunia Langit atas perbuatan mereka terhadap sesama manusia, pada makhluk hidup lainnya dan pada kelestarian alam di bumi ini.

Hingga wajarlah jika kolt baheula suka menyebutkan berbagai larangan bila memasuki suatu hutan. Itu bukanlah sekedar tahayul, tetapi agar alam tetap lestari tidak dirusak oleh tangan jahil manusia. Manusia modern mengangapnya tahayul dan harus diberantas, yang ternyata hutan pun tak luput dari pemberantasan. Ataupn lahir berbagai peribahasa, yang sebenarnya bertujuan agar manusia bisa akur dan seadat dengan yang lainnya. Mereka memiliki pandangan untuk tetap menjaga keharmonisan antara manusia dengan sesamanya, manusua dengan makhluk hidup lainnya, manusia dengan alam sekitarnya, dan manusia dengan Dunia Langit.

Wallahu A'lam.


Tidak ada komentar: