Rabu, 27 Februari 2008

Ngaruat Garut Selatan


Ku Zya Thea

Ngaruat atau Diruat, menurut Sang Pujangga Sunda R.H. Hasan Mustafa, merupakan adat Sunda yang biasa disebut juga dengan Dilokat, yang dilaksanakan jika ada seorang anak yang sedang sakit. Dalam tradisi Pantun, terdapat istilah ruatan taneuh, ngaruat hulu wotan, parit, danau, ngaruat kampung yang baru dibangun. Tujuan Ngaruat dilakukan, adalah untuk memunculkan kembali kesucian, sekaligus menolak unsur-unsur kejahatan. Semua unsur negatif harus diruat dengan melakukan ritual selamatan.

Berdasarkan topografi “The Hammond World Atlas” tahun 1980, Garut Selatan sekarang berada di alam bumi Jawa Barat. Tepatnya di dataran pegunungan Selatan (kidul), yang terbentang dari pelabuhan Ratu sampai Nusa Kambangan. Bagian Barat dinamakan dataran Jampang. Bagian Tengah disebut dataran Pangalengan. Bagian Timur disebut dataran Karangnunggal. Garut Selatan merupakan bagian dari Kabupaten Garut yang mempunyai luas wilayah sekitar 3.065,19 km2 dan secara geografis terletak diantara 60 56` 49`` - 70 45` 00`` Lintang Selatan dan 1070 25` 8` - 1080 7` 30`` Bujur Timur.

Kenapa Garut Selatan harus diruat?

Garut Selatan memiliki sumber daya alam yang strategis, baik dari perkebunan, pertanian, dan perikanan. Kondisi dan potensi Garut Selatan membutuhkan perhatian serius, disesuaikan dengan kultur dan mentalitas masyarakat dan sumber daya alam sekitarnya. Tetapi kenyataan berkata lain, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia tidak teroptimalisasi oleh pemegang kebijakan. Maka Garut Selatan ibarat seorang anak yang harus diruat supaya kembali pulih segala potensi yang dimiliki.

Sebagian besar masyarakat Priangan adalah masyarakat petani. Salah satu adat petani Priangan adalah mangerankeun, yaitu berterima kasih kepada segala sesuatu yang membuat mereka tercukupi kebutuhan bagi keberlangsungan hidupnya. Mentalitas bertani ini terbentuk sesuai dengan tuntutan alam, disertai usaha keras manusia untuk menjalin keharmonisan dengan alam. Mentalitas ini terpelihara dalam tradisi masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Karena alam telah memberikan kecukupan kebutuhan keseharian masyarakat Priangan. Dalam hal ini, masyarakat Garut Selatan memiliki potensi sebagai pengelola di bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan yang merupakan kekayaan alam daerahnya. Pemanfaatan alam yang bijak membentuk masyarakat yang mandiri. Kemandirian tersebut akan bertahan, jika mereka tetap berada di lingkungan dan bidang keahliannya. Karena kemandirian akan bertahan sesuai dengan terpeliharanya mentalitas tersebut. Konkritnya, mentalitas petani Kawung di daerah Saparantu Desa Pangrumasan Garut Selatan akan tetap terjaga jika Kawung masih tetap sebagai objek pengelolaannya. Demikian pula petani Teh, dikatakan demikian jika Teh tetap merupakan usaha keseharian mereka.

Terdapat pula mentalitas pelaut. Bagi masyarakat di sekitar pesisir pantai Garut Selatan, potensi kelautan dengan panjang pantai mencapai kurang lebih 72 km telah membentuk kemandirian dalam diri mereka. Para Nelayan menjalin hubungan harmonis dengan laut, sebagai sumber dan bagian kehidupan mereka. Sikap mangerankeun, melahirkan watak bijak dalam diri nelayan. Dan hubungan timbal-balik dalam kurun waktu yang lama telah membentuk tradisi-tradisi dan kearifan lokal di dalam masyarakat.

Mentalitas-mentalitas tersebut merupakan potensi sumber daya manusia yang memadai untuk pengelolaan sumber daya alam, sesuai dengan asal mula kultur masing-masing masyarakat terhadap alamnya. Hal ini menunjang optimalisasi potensi-potensi yang ada di Garut Selatan.

Ciri Sabumi, Cara Sadesa!

Tiap daerah akan melahirkan adat istiadat, kemampuan, dan mentalitas yang berbeda-beda. Kearifan lokal terhadap alam tak bisa lepas dari dasar yang membuat masyarakat terpenuhi kehidupannya. Maka lain lubuk, lain pula ikannya… lain ladang lain belalang. Jika pohon Kawung adalah sumber kehidupan suatu masyarakat, maka optimalisasi potensi perkebunan Kawung akan lebih sesuai dengan kondisi alam dan mentalitas masyarakat yang bersangkutan. Tetapi semua itu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Optimalisasi potensi harus berdasarkan pada perhatian pemerintah selaku pemegang kekuasaan, dengan tetap memperhatikan kultur, mentalitas masyarakat, dan alam sekitarnya.

Pada prinsipnya, secara alamiah masyarakat Garut Selatan cukup mampu memenuhi kebutuhannya dari alam dan laut. Tetapi partisifasi dan kearifan Pemerintah dalam memutuskan kebijakan sangat berpengaruh pada eksistensi kemandirian masyarakat setempat. Ketidaktepatan kebijakan sama saja mencabut suatu masyarakat dari akar tradisi, adat istiadat, mentalitas, dan alamnya. Hal ini akan menghambat efektifitas pembangunan. Adat Priangan mengenal peribahasa: Indung Hukum, Bapak Drigama. Artinya masyarakat sadar bahwa hukumlah yang mengatur semua itu dan negaralah yang membuat aturan untuk eksistensi dan keberlangsungan hidup mereka. Maka ini menjadi tanggung jawab Pemerintah terhadap rakyat.

Lain dulu lain sekarang …

Pada masa kolonial Belanda daerah Garut Selatan, umumnya Kabupaten Garut, mendapatkan perhatian serius. Belanda mampu memanfaatkan dengan baik kultur, mentalitas, dan alam di mana mereka hidup. Sehingga Garut Selatan maju dalam bidang agrobisnis. Kemajuan tersebut disertai dengan pengembangan fasilitas infrastruktur. Untuk potensi perikanan, mereka membangun dermaga bagi nelayan di Cilauteureun. Untuk transportasi dan distribusi hasil bumi, maka jalan Kereta Api pun dibuka dengan menempatkan stasiun KA di daerah Cikajang. Jaringan rel Cibatu-Garut-Cikajang yang sekarang tidak diaktifkan, dulu digunakan sebagai massal penumpang dan barang.

Kini semua SDM dan SDA Garut Selatan terabaikan dari perhatian. Kebijakan-kebijakan yang kurang tepat mengikis mentalitas dan kemandirian masyarakat Garut Selatan. Idealnya mentalitas yang mapan, sikap kemandirian, dan potensi alam didukung dengan sentuhan teknologi mutakhir dan kebijakan yang tepat. Selanjutnya diharapkan Garut Selatan menjadi sentral aktifitas produksi dibidang pertanian, perkebunan, dan perikanan.

wallahu a'lam


Tidak ada komentar: