Rabu, 27 Februari 2008

Pantun: Strategi Sejarah Sunda Buhun

Oleh Muhammad Zia Ulhaq, S.Th.I


PAJAJARAN bagi masyarakat Sunda, diakui sebagai simbol persatuan ketika kemelut perpecahan melanda Jawa Barat. Perang saudara, dari kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh, melahirkan semangat bersatu dalam kedamaian. Kemasyhuran Pajajaran tetap dipertahankan oleh masyarakat tradisional yang hidup pasca keruntuhannya, dan tercatat dalam kemasan tradisi-tradisi yang berkembang dalam sebuah kebudayaan Sunda.

PANTUN merupakan kemasan yang berasal dari refleksi kearifan para genius local Sunda untuk mempertahankan khazanah kebudayaannya. Dari berbagai cerita dalam Pantun Sunda, hampir seluruh tokoh cerita terpusat pada garis keturunan kerajaan Pajajaran. Jika dikaji lebih seksama, para pembuat pantun tempo dulu merangkai alur sejarah yang berasal dari kemasyhuran etnisnya sebagai satu bentuk jati diri kebudayaan. Maka lewat tradisi lisan, lahirlah di daerah Priangan berbagai Pantun yang menjadi warisan kebudayaan dari generasi ke generasi.

Seperti dalam kisah Pantun Budak Manyor. Terdapat tokoh Ratu Sungging Gilang Mantra Sekesengeh Ranggalawe Aria Mangku Nagara, disingkat Ratu Sungging. Kemunculannya dalam cerita, merupakan simbol dari teraturnya kembali semua unsur chaos dan kejayaan pada garis keturunan Pajajaran.

Dalam Pantun ini dikisahkan tentang Agan Sumur Agung, seorang perempuan dengan wajah cantik jelita dari Nagara Kuta Tandingan. Kecantikan sang Putri telah menyebar ke setiap penjuru Priangan. Kabar angin ini menjadi bahan pembicaraan para pangeran dari berbagai kerajaan. Maka mereka pun datang bergiliran hendak meminang sang Idaman.

Di mulai dari Nagara Kuta Salaka, Kuta Pandak, dan Kadu Pandak. Tetapi sayangnya cinta mereka tertolak dengan syarat-syarat dari sang Putri. Untuk menikahinya, mereka terlebih dahulu harus bertapa selama tujuh tahun lamanya di bawah Kiara Jingkang Dopang Malang. Syarat tersebut sungguh sangat berat bagi mereka. Cinta pun tak berbalas. Dengan kecewa hati mereka mengingkari kecantikan dan kebaikan Agan Sumur Agung, dan bersumpah bahwa siapa pun yang akhirnya berhasil meminangnya akan mereka perangi. Nasib berkata lain bagi Nagara Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan. Putra Mahkota Kuda Pamengkas sanggup melaksanakan syarat pinangan sang Pujaan. Dia segera mencari pohon tersebut dan melakukan laku tapa tujuh lamanya.

Di bagian inilah empunya Pantun mulai melakukan strateginya untuk Pajajaran. Kedatangan Putra Mahkota Pajajaran mengubah keadaan. Kecantikan Agan Sumur Bandung menggelapkan mata Ratu Sungging. Dia tidak menghiraukan orang tuanya yang melarang melaksanakan niatan Ratu Sungging karena dia telah mendapatkan calon pendamping hidupnya.

Cinta itu buta! Demikian pula yang menimpa pemuda ini. Dia segera keluar kerajaan. Melewati gunung dan lembah bebukitan sampai akhirnya sampai di sebuah pinggiran sungai. Itu tak jadi halangan. Dia segera membuat perahu. Tetapi naas, arus sungai yang besar menghancurkan perahunya, dan Ratu Sungging pingsan tak berdaya. Dengan perantara Budak Manyor, Sunan Ambu yang mengetahui kejadian tersebut segera menolongnya hingga dapat menikahi Agan Sumur Agung.

Berita pernikahan ini sampai pada para pangeran yang terikat sumpah. Maka Nagara Kuta Tandingan yang telah dipimpin oleh keturunan Pajajaran diserang berurutan. Sampai akhirnya mereka tak kuasa menyerang, dan menyerahkan kekuasaannya untuk mengabdi pada Ratu Sungging. Mengetahui peristiwa tersebut, Raja dan Permaisuri dari Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan segera membangunkan Kuda Pamekas karena Putri Kuta Tandingan telah melanggar janji. Kuda Pamekas kecewa atas keputusan itu, maka pasukannya segera menyerang Kuta Tandingan. Tapi dia tak berhasil dan mengaku kalah, disertai dengan penyerahan kekuasaannya untuk mengabdi dan melindungi Kuta Tandingan.

Dalam kisah ini, empunya cerita Pantun Budak Manyor menggunakan pola papat kalima pancer dalam mempertahankan kekuasaan keturunan Pajajaran di kerajaan lain. Pola ini sering terdapat pula pada sebagian tradisi, prilaku, dan cara ritual masyarakat tradisional, khususnya dalam hal sakralitas tradisi Sunda.

Kuta Salaka, Kuta Pandak, dan Dayeuh Manggung Pasanggrahan Wetan adalah pola papat (empat). Sedangkan Kuta Tandingan merupakan yang kelima, sebagai pancer atau pusat, sebab sebelumnya akan dikuasai oleh Kuda Pamekas. Kedatangan Ratu Sungging menguatkan alasan bahwa Pantun digunakan sebagai salah satu strategi Sunda Buhun dalam mempertahankan sejarah kesundaannya, yang disandarkan pada eksistensi Pajajaran di setiap alur Pantun.

Pajajaran bukanlah Wetan, Pajajaran adalah Kulon. Penggagalan kekuasaan Pasanggrahan Wetan sebagai Pancer, digantikan dengan adanya tokoh dari garis keturunan Pajajaran. Maka Pancernya adalah Ratu Sunging, Raja Kuta Tandingan. Selain itu, keberpihakan Sunan Ambu melalui perantara Budak Manyor yang merupakan simbol dari Dunia Atas (tokoh suci), menekankan bahwa penghubung dengan Dunia Atas –axis mundi- adalah segala hal yang berkaitan dengan Pajajaran. Maka Pajajaranlah yang layak disebut Pancer.

Mengabadikan kemasyhuran sejarah kesundaan melalui Pantun merupakan salah satu produk genius local Sunda Buhun. Melalui tradisi ini, sejarah dan kearifan Sunda pun terjaga dan diharapkan sampai pada generasi muda di suatu zaman nanti. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pantun pun akan tetap lestari, dan mungkin bisa dipelajari sebagai gambaran perikehidupan orang Sunda sebelum kena dampak globalisasi. Ki Sunda baheula mungkin tak tahu arti globalisasi, tetapi kekhawatiran mengikisnya eksistensi dan jati diri urang Sunda sangat mereka sadari. Maka terciptalah Pantun sebaai salah satu strateginya.

Jika masyarakat Sunda ratusan tahun lalu mampu melestarikan sejarahnya dengan Pantun, maka bagaimanakah cara orang Sunda kiwari mengusung eksistensi kesundaannya. Jati kasilih ku junti! Peribahasa yang lahir dari kearifan Sunda dan mungkin diingkari ketika telah menjadi realita. Eksistensi orang Sunda harus tetap bertahan dari segala godaan zaman. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: