Rabu, 27 Februari 2008

Catetan Baba Icon

Yang Muda Yang Nyunda

Ahmad Gibson Al-Bustomi

Mukadimah: Membuka Dinding Rumah

Max Muller, seorang ahli filologi, bilang bahkan kata atau bahasa merupakan salah satu yang sumber penyakit. Ia menyebutnya sebagai penyakit bahasa. Banyak yang lahir dari gejala penyakit bahasa ini, mitologi salah satunya. Sejauh manusia menggunakan bahasa verbal, kata-kata, selama itu pula gejala penyakit bahasa ini akan senantiasa muncul dan muncul lagi. Penyakit bahasa ini lebih sering terjadi dalam kehidupan politik, khususnya di Indoensia. Kini, muncul lagi gejala penyakit bahasa yang kurang-lebih sama parahnya. Kata yang kini sedang menggejala dan menjadi semacam virus yang membuat bibir menjadi gatal untuk senantiasa mengatakannya, dalam kondisi apa pun. Yaitu, kata “global” (mondial), atau lengkapnya “globalisasi”. Sebuah projek mega raksasa yang kini berhembus kencang dari arah barat. Tak ada kata-kata pembukaan rapat, pidato, ceramah agama, proposal atau apa pun yang luput dari kata ini. Saya tidak terlalu yakin bagaimana dengan mimpi?

Dengan “isu” yang bagaikan angin puting beliung itu, negara adi daya yang memerlukan pasar bagi produk “industri”-nya, kini menyeret semua negara-bangsa, khususnya negara dan bangsa dunia ketiga untuk masuk dalam jaring-jaring itu. Dan, melupakan serta menepis identitas-identikan lokalnya. Identitas yang dicap dengan besi panas yang sulit dihapus sebagai identitas tradisional yang terbelakang dan anti kemajuan. Masyarakat negara dan bangsa dari dunia ketiga yang berkinginan untuk “memapaki” dan menyamakan posisi mereka dengan negara lainnya tentunya melihat ini sebagai peluang mewujudkan keinginannya untuk berperan serta dalam percaturan tingkat dunia, walaupun dengan resiko harus mampu bertahan menghadapi pusaran roda raksasa yang siap melindasnya. Percaturan ekonomi global pada kenyataanya bukan hanya melibatkan aspek ekonomi dan politik belaka, pada akhirnya melibatkan seluruha aspek dari pola kehidupan (life-style) masyarakatnya.

Umpan modernisasi yang sekian puluh tahun telah digulirkan telah berhasil menjerat ikan, kecil-kecil tapi banyak. Kini, umpan baru tentunya tidak terlalu sulit untuk ditawarkan. Karena ikannya telah mabuk dan tidak mampu lagi menunjuk arah angin secara benar. Efeknya cukup menarik: apa yang baik di negara adi daya (baca: Amerika dan Eropa) baik pula bagi kita, dan apa yang jelek di negeri adi daya wajarlah kalu kita pun mengalami hal yang sama. Maksudnya, bila ada kejelekan (penyimpangan) akibat suatu aktivitas pembangunan, sebagai contoh, menjadi wajar dan masih dianggap baik apabila hal itu pun terjadi di negara barat sana. Lebih gila lagi, kita sering bersikap sinis terhadap kebaikan yang sebagian dari kita lakukan dan pertahankan, sedangkan di barat terjadi sebaliknya, kita cenderung menganggap mereka sebagai kelompok ekstrim yang sok suci, sok moralis dan identitas sejenis. Dengan kata lain, globalisasi bukan lagi sikap bersama untuk terbuka terhadap setiap perbedaan yang dimiliki setiap negara dan bangsa sebagai bagian integral dari masyarakat dunia (ide luhur pluralisme). Melainkan adanya “pernekanan” baik secara langsung atau pun tidak langsung dari negara maju, negara adi daya, terhadap negara dan bangsa dunia ketiga untuk menerima dan menggunakan sistem nilai apa pun yang mereka miliki, berlaku di degara mereka. Dengan demikian, keberadaan sistem nilai dan produk budaya lokal, secara konskwensional, keberadaannya sangat terancam dan tertolak.

Persoalan mendasar yang kini kita hadapi adalah hilangnya kepercayaan diri kita terhadap sistem nilai budaya kita sendiri. Kita sudah tidak lagi percaya bahwa kita masih bisa hidup dan melangkahkan kaki kita secara dinamis dan kreatif dengan apa yang kita miliki. Gejala ini bukan hanya menjangkit kaum tua, akan tetapi juga menjangkit kaum mudanya, khususnya kaum muda Sunda.

Menjadi Diri Sendiri atau Tidak Sama Sekali

Hidup adalah sebuah kepastian (faktisitas), dan menjalaninya adalah sebuah pilihan dari sejumlah kemungkinan. Tidak ada seorang pun yang lahir dan hidup menjadi dari masyarakat tertentu sebagai pilihannya, seperti halnya tidak ada yang memilihi untuk lahir sebagai suku bangsa Sunda, atau suku bangsa lainnya. Bahkan tidak ada pula yang (bisa) memilih terlahir sebagai manusia, binatang, tumbuhan atau salah satu dari benda mati yang ada di dunia ini. Faktalah yang mengatakan bahwa kita hidup sebagai manusia dari ras suku bangsa Sunda, atau yang lainnya. Sedangkan bagaimana kita menjalani kehidupan kita sebagai bagian dari suku bangsa Sunda adalah pilihan kita sendiri. Yang jelas kita tidak bisa merubah diri kita untuk tidak menjadi suku banhsa Sunda.

Setiap suku bangsa, selain dicirikan oleh kondisi fisiknya, juga dicirikan oleh struktur budayanya. Dan struktur budaya terlahir sebagai respons, atau sebagai strategi[1], terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi manusia. Persoalan yang terlahir dari keberhadapan manusia dengan lingkungan alam (baik yang tampak statis maupun yang berubah-ubah), masyarakatnya, dirinya sendiri dan dengan pola kehidupan masyarakat lain di luar lingkungan masyarakatnya sendiri (interaksi antar masyarakat dan budaya).

Strategi dan respons tersebut secara terus menerus dan bertahap membentuk struktur baku dalam kurun tertentu, dan secara dinamis mengalami perubahan pada kurun lainnya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapinya. Itulah kebudyaan. Lintasan sejarah yang dilalui masyartakat dengan kebudayaannya itu membentuk kepribadian masyarakat secara bersama-sama. Kini kita mengenal kepribadian Sunda, Jawa, Batak, kepribadian timur, kepribadian Barat, dan lain sebagainya. Kepribadian bersama itu secara formal melahirkan apa yang disebut norma sosial-budaya. Norma-norma tradisi yang pada masyarakat tradisional tertuang dalam mite serta legenda yang hidup dalam masyarakat tersebut, dan terpatri dalam “bawah sadar” kehidupan masyarakatnya .

Kita mengenal, sebagaimana sering orang katakan, tentang karakter orang Sunda sebagai masyarakat yang lemah lembut, santun, cenderung mendahulukan orang lain dari pada dirinya sendiri, sebagai bersifat tertutup dan sebagai bersifat terbuka dan terus terang, cenderung tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain, dan lain sebagainya. Orang Sunda selain memiliki kecendrungan pragmatis pada sisi kehidupan kesehariannya, namun ia pun memiliki konsern terhadap persoalan-persoalan persenungan dan peningkatan kualitas spiritualnya. Pribadi yang memiliki Intensionalitas yang kadang sulit diduga. Karakter-karakter tersebut kadang disimbolkan oleh sejumlah tokoh individual yang diungkap dalam sejumlah legenda atau mite. Kita mengenal tokoh si Kabayan, Mamang Lengser, dan tokoh-tokoh besar lainnya seperti: Guruminda dan Dewi Asri (tokoh cerita mite Lutung Kasarung), Mundinglaya di Kusumah dengan Dewi Asri, Jaka Sabeulah, Sangkuriang, dan lain sebagainya. Cerita tersebut kini telah menjadi terkubur di bawah tumpukan puing-puing masa lalu ki Sunda dan bayang-bayang masa depan muda Sunda yang telah terasing dari budayanya. Masihkan muda Sunda mengenal tokoh-tokoh cerita tersebut? Penulis tidak pernah berani untuk menduga.

Muda Sunda mungkin bertanya-tanya, untuk apa kita mengenal tokoh cerita usang itu? Cerita yang hanya ada dan terlahir dari masa lalu yang gelap? Saya hanya bisa berkata, bahwa tidak ada cerita manusi ayang pernah menjadi usang, dan semua cerita tentang manusia senantiasa terlahir dari kegelapan masa lalunya. Yang ada hanyalah kebebalan kita karena silau dengan cahaya kilat yang hanya terang sesaat. Apakah kita harus berbohong pada diri kita sendiri, bahwa kita lebih pandir dari si Kabayan? Tidak lebih serakah dari Sangkuriang? Dan bukankah kita pun tidak lebih dari seokor kera yang tersesat di tengah rimba untuk menemu yang kita idamkan? Ketika bercermin di sisi sungai, kita pun terkejut dengan wajah dan wujud diri kita. Lalu, kita berusaha mengganti penampilan kita dengan penampilan orang lain. Berganti lagi dan berganti lagi; setiap hari kita senantiasa berusaha untuk merubah penampilan dan peran yang kita mainkan.

Bila Gurumunda yang berwujud lutung (kera hitam) mampu berlaku jujur dan menerima keadaan sebenarnya, ia mampu mengembalikan wujudnya semula, setelah “mutiara” (bagian penting dari dirinya ditemukan, ….). Lain halya dengan Sangkuriang, yang walaupun dengan seambreg kesaktian, namun ia tidak pernah mampu mengenal asal-usulnya dan akhirnya ia mengalami “kehancuran diri” karena itu. Atau mungkin kita adalah Mundinglaya di Kusumah yang harus mati dan mati lagi sebelum akhirnya menemu apa yang dicari? Atau kita (muda Sunda) hanyalah sosok pun Boncel yang lupa akan diri dan asul-usul kita hanya karena kita mendapat sedikit kehormatan, jabatan.

Semua itu hanyalah cerita mite (realitas maya), tapi pada hakikatnya adalah gambaran dari kehidupan kita sendiri. Tapi siapa yang tidak tahu bahwa kehidupan modern sekalipun tidak pernah lepas dari keberadaan realitas maya tersebut. Demikian juga dengan agama. Pemikiran atau gagasan manusia tentang realitas ideal senantiasa bersifat maya. Validitas rasional (rasionalitas) dunia maya hanyalah masalah paradigma. Dan, paradigma tidak pernah luput dari perubahan dan senantiasa terbuka atas kritik.

Hal terpenting dari dunia maya adalah bahwa dalam dunia maya manusia menemukan kebebasan imajinatifnya. Apakah produk imaji itu memiliki dasar historisnya sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (autentik) atau pun tidak menjadi tidak penting. Yang paling penting adalah mampu atau tidaknya kita menangkap “makna” atau “kearifan” dari risalah atau cerita yang kita sebut maya atau imajinatif itu. Sebagai ilustrasi balik, kalau pun peristiwa historis Proklamasi 17 Agustus 45 dan peristiwa penghiatan G-30S-PKI itu benar-benar terjadi dan memiliki seambreg bukti historis, tapi apabila kita tidak pernah mampu menangkap makna dan pelajaran dari peristiwea historis itu, maka persitiwa itu tidak lebih berharga dari cerita film Rambo bahkan dibanding cerita film Doraemon sekalipun.

Mitologi dan Kepribadian Bangsa

Kebesaran suatu bangsa senantiasa dibangun oleh kebanggaannya terhadap masa lalunya. Bila kita harus menyebut sejumlah negara adi daya yang kini “menguasai” dunia, mereka senantiasa dibarengi oleh kebanggaan mereka terhadap sejarah masa lalunya, sekecil apa pun itu. Kita sebut saja Amerika Serikat (USA) yang begitu bangga dengan tradisi cowboy-nya. Tradisi yang menurut orang tua penulis sebagai tradisi barbar, karena pekerjaannya adalah membunuh orang. Bahkan orang amerika sendiri menyebutnya sebagi masa wild-west. Atau kebudayaan Eropa, mereka begitu bangga dengan kebudayaan Viking, dan tetap memelihara cerita-cerita mitologisnya. Lebih dari itu mereka berusaha untuk menemukan relevansi rasional keyakinan mite mereka dalam kehidupan historisnya. Heroisme Jepang sebagai contoh lain di Asia, dipijakkan di atas asumsi mitologis yang bagi pemikiran modern-positivistik tentunya sangatlah memalukan. Tapi dengan kekuatan mitologis itulah etos Jepang dibangun. Etos yang dibagun di atas kerangka mitologis sebagai bangsa yang ditakdirkan untuk mentguasai dunia. Demikian juga negara lain seperti Jerman, Yunani dan sejumlah negara Eropa lainnya.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sama sekali tidak memiliki tradisi mitologis. Cerita mitologis yang ada hanyalah milik suku-suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Kecuali mite tentang perjuangan kemerdekaan bisa disebut sebagai mite bangsa Indoesnia. Yaitu mitologi bersama tentang perjuangan melawan penjajah: mitologi sumpah pemuda, mitologi peritiwa heroik di Surabaya, mitologi Kartini, Mitologi perjuangan Revolusi 1945, perjuangan melawan penghiantan G 30 S-PKI dan mitologi-mitologi sejenis yang kini menjadi hari besar Bangsa indonesia. Akan tetapi mite-mite tersebut hanya menjadi sejarah kebanggan para bangsawan, politisi dan militer. Masyarakat sivil, yang mayoritas, seolah-olah teralienasi dan terpinggirkan dari mitologi tersebut. Mereka lebih bisa menikmati dan menemukan kearifan dari cerita pewayangan, mitolagi, legenda atau cerita heroik seperti cerita-cerita rakyat. Dan itupun bagi masyarakat generasi tua. Bagaimana dengan masyarakat mudanya? Bisa disebut bahwa mereka sama sekali tidak memiliki referensi yang bisa dijadikan sebagai media untuk mengembangkan dunia imajinasinya, dunia maya. Kalau pun ada tiada lain dari pinjaman dari tradisi mitologi bangsa lain yang masuk melalui media.

Karena mitologi yang dicerna oleh kaum muda sekarang, kshususnya muda Sunda, adalah pinjaman dari bangsa lain tidak heran bila mereka kesulitan uyntuk menemukan relevansinya dengan kebudayaan asalinya. Mereka mengalami split personality: Penampilan dan pemikiran barat (modern) tapi mentalitasnya rapuh, karena ia sama sekali tidak meiliki kembangaan terhadap masa lalu dirinya. Untuk menerima modernitas yang western (nge-barat) terpaksa ia harus menafikan masa lalu sejarah bangsanya yang dianggapnya tradisional dan terbelakang tanpa sempat memahami dan mengalaminya.

Menjadi Modern dalam KeSundaan: Yang Muda Yang Nyunda

Menjadi “modern” tampaknya merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarai, akan tetapi modern dengan kehilangan karakter asali bulkanlah pilihan. Oleh karena itu penerimaan terhadap modernitas (progresif) hanya mungkin apabila Yang Muda memiliki pijakan yang kokoh terhadap kediriannya yang asali, autentik.

Terdapat beberapa karakteristik ke-Sunda-an yang mungkin bisa dikemukakan dan digali (dielaborasi) secara lebih seksama untuk dijadikan pijakan untuk menjadi manusia modern yang Nyunda, antara lain:

1. Sikap optimistik yang digambarkan oleh tokoh cerita si Kabayan.

Karakteristik cara pandang tradisional yang menganggap bahwa mansuia (mikro-kosmos) sebagai bagian integral dari alam semesta (makro-kosmos) membuat manusia tidak pernah merasa hidup sendirian. Ia membuat relasi eksistensial dengan lingkungan sosial dan alamnya sekitarnya. Relasi yang saling menegaskan eksistensinya. Alam tidak pernah dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi manusia. Oleh karena itu si Kabayan begitu percaya bahwa alam tidak akan pernah membuatnya sengsara. Dengan deskripsi yang “radikal”, cerita tokoh si Kabayan digambarkan sebagai tokoh yang memiliki pandangan bahwa tanpa “berusaha” pun manusia akan tetap hidup karena alam akan senantiasa memberinya makan! Selama manusia bersikap arif dan tidak pernah mencelaki dan menghianati lingkungan alamnya.

Ada cerita yang sangat populer dari Cerita Si Kabayan, yang biasanya dijuduli “El..da Deet”. Dikisahkan Si Kabayan diminta istrinya (si Iteung) menangkap tutut (siput, keong) di sawah. Uniknya si Kabayan menggunakan kail bukannya dengan cara memungut tutut dengan tangan secara langsung. Prilaku ini memuat penasaran istrinya dan bertanya pada si Kabayan tentang prilakukanya itu. Si Kabayan menjelaskan bahwa tidak mungkin memungut tutut itu secara langsung karena sawah itu ternyata demikian dalam, sedalam langit “tingali langit wae katinggali”. Dan karena kesal, si Kabayan di dorong sehingga ia masuk ke sawah, dan serta merta ia bberkata, “el..da deet”. Ternyata air sawah itu sama sekali tidak dalam.

Hikmah atau ke’arifan apa yang kita bisa kita ambil dari cerita ini? Cerita yang sederhama bahkan kocak dan bernuansa kebodohan, akan tetapi terdapat kritik yang sangat cerdas dan brilian. Selamat mengkaji dan menafsir. Apa pun tafsir yang kita berikan, adalah benar. Karena kita akan menafsir cerita ini, dan apa pun, tentunya sesuai dengan referensi dan bagaimana koita menjalani kehidupan ini.

2. Diri sebagai Pusat Dunia. Para ahli antropologi membagi tiga sistem budaya, khususnya di Indonesia, yaitu sistem budaya pantai atau sungai, sistem budaya ladang basah (sawah), dan sistem budaya ladang kering (Sunda=huma), sistem budaya.

a. Sistem budaya pantai atau sungai. Sistem budaya sungai terlahir dari masyarakat yang hidup di sekitar pantai atau sungai. Dinamika air sungai dan pantai serta kerasnya kehidupan pantai serta sungai membentuk masyarakat yang tegas dan keras. Selain itu karena sungai maupun pantai memiliki fungsi komunikasi dan transfortasi maka masyakat ini sangat terbuka dan cenderung memiliki pola budaya pluralistik. Simbol-simbol kelautan tercermin dalam sistem keyakinannya.

b. Sistem budaya ladang basah (sawah). Sistem budaya sawah memiliki ketergantungan yang sangat terhadap sistem irigasi. Dan, sistem irigasi sangat memerlukan pola distribusi yang disepakati secara bersama dalam masyarakat tersebut. Sifat vital dari irigasi melahirkan kecenderungan orang untuk menguasai pasilitas vital itu. Cara untuk menguasai pasilitas vital tersebut tiada lain dengan menguasai masyarakatnya. Dan, secara konsekwensional, kekuatan seserang terletak pada solidaritas komunitasnya: kualitas individu terletak pada solidaritas masyarakat atau komunitasnya.

c. Sistem budaya ladang kering (huma). Sistem budaya ini cenderung berada di wilayah pedalaman yang jauh dari pantai dan berada di dataran tinggi. Wilayah pedalaman di Jawa Barat merupakan wilayah pegunungan (Sunda=leuweung) dan perbukitan (Sunda=pasir) yang subur menghijau, dengan curah hujan yang tinggi. Keadaan giografis dan curah hujan membuat masyarakat Sunda (mayoritas penghuni jazirah Jawa Barat) tidak memiliki ketergantungan terhadap komunitas kecuali keluarga dekatnya dan tertama terhadap alamnya. Kondisi yang membuat ki Sunda cenderung individualistik, dalam pengertian ia cenderung mengutamakan kualitas individual dan memiliki kerpercayaan terhadap kekuatan indivisula (diri sendiri) dari pada bergantung pada kekuatan komunitas.

Karena kualitas individual yang menjadi kekuatan ki Sunda maka mite yang berkembang dalam masyarakt Sunda umumnya berbicara tentang proses pembentukan dan perjalanan seorang individu yang melakukan proses perjalanan “spiritual” dalam rangkan “menemukan” dirinya. Sebagai diri yang “masagi”. Diri yang tidak tergantung pada masyarakat tapi memiliki kepedulian yang kuat terhadap masyarakat, dunia. Hal ini tampak pada mite Munding Laya di Kusumah, Lutung Kasarung, dan mite Sangkuriang (ada yang mengartikan sebagai sang kuring, “Aku”).

3. Tungkul ka Jukut Tanggah ka Sadapan. Ungkapan tersebut merupakan prisinsip hidup ki Sunda, yang memiliki arti: senantiasa berpijak pada potensi dan tempatnya berpijak baru menerawang dan melebarkan sayapnya untuk mencapai angkasa. Atau dengan ungkapan lain yang lebih populer: mulailah dari diri sendiri!, seorang yang hebat bukanlah yang mampu membunuh dan menguasai musuhnya, mrelainkan orang yang mampu menguasai dirinya sendiri.

4. Heuheuy jeung Deudeuh. Hidup adalah sandiwara, kita saling menatap, menilai dan kadang saling mentertawan diri sendiri. Sikap apa pun yang kita ekspresikan terhadap dunia dan kehidupan ini, dunia tetap akan berputar dan mata hari akan menemui kita esok hari. Oleh karena itu tersenyum dan berbahagialah, take it easy man!! dan itu pun tidak akan pernah terjadi bila tidak ada cinta-kasih dalam dada. Senyuman hanya akan di bibir kita bila dada kita penuh dengan kasih-sayang dan cinta kasih. Hanya senyuman dan cinta kasih yang akan membuat sinar matahari terdiam dan terus menerus menerangi bumi ini, kalau pun sang mata hari berada dibalik bumi kita.

Masih banyak yang perlu diungkap, tapi setajam apa pun pena nuranilah yang menggerakkannya. Dan, setiap nurani yang ada dalam “dada” dan menaungi kehidupan seluruh manusia, khsusunya muda Sunda, telah begitu cepat melesat menggoreskan penanya masing-masing mendahuli apa yang akan saya katakan, tuliskan.

Wassalam.



[1] Istilah yang digunakan van Peursen

Tidak ada komentar: