Rabu, 27 Februari 2008

STRUKTUR KOSMOLOGIS DAN APRESIASI SENI TRADISI


Ahmad Gibson Al-Bustomi

Jerit Dewi Asri ngajerit…..”Deudeuh akang Mundinglaya di Kusumah, tiwas-tiwas, ti peuting kaimpi sumping, ti beurang kaetang datang, bisi kasilih kujunti, ulah kabeunangan bagja. Sugan teh kukupu hideung, sihoreng obat kabeuleum; suganteh Mundinglaya kukuh katineung, sihoreng kabengbat deungeun…”

K.H. Hasan Mustapa

Kebudayaan, dalam logika apa pun diakui sebagai sesuatu yang bersifat dinamis. Aspek dinamis kebudayaan ditemukan tatkala ia berelasi dengan kebudayaan lain. Sisi dinamis ini dimungkinkan, karena setiap kebudayaan memiliki dua kekuatan internal untuk survive. Kebudayaan bertahan melalui dua cara: pertama, dengan berelasi dan membuka dirinya terhadap kebudayaan lain. Kedua, dengan melakukan proteksi terhadap sejumlah kemungkinan interpensi budaya lain yang memungkinkan terjadinya proses “penghancuran” kebudayaan sendiri. Dengan kata lain, kebudayan bisa bertahan melalui himpitan dan tarik ulur dalam relasinya dengan kebudayaan lain.

Suatu masyarakat dengan kebudayaannya, bila tidak berelasi dengan masyarakat dan kebudayaan lain (dan ini sungguh-sungguh tidak mungkin), akan menyeret masyarakatnya dalam keterasingan dengan dunia luar yang lebih luas. Terutama, dalam tekanan global yang sekarang sedang melanda masyarakat-dunia. Ketertutupan dan sikap menutup diri terhadap relasinya dengan dunia luar akan menyeret masyarakat tersebut pada sikap peng-objek-kan masyarakat dan budayanya. Dalih “mempertahankan” originalitas kebudayan lokal, dengan menolak relasi dengan masyarakt dan budaya lain, akan melahirkan proses pemutlakan dan pada akhirnya eksistensi manusia sebagai unsur dinamis dan unsur primer dalam kebudayaan suatu masyarakat akan tersubordinasi di bawah bayang-bayang kebudayaannya. Manusia menjadi objek kebudayaan tanpa memiliki kesempatan untuk berkembang. Dan bila manusia, sebagai unsur dinamis dalam kebudayaan masyarakat, terlah tersubordinasi dan menjadi objek kebudayaan, manusia akan mengalami proses amnesia (lupa akan diri, ada). Dan, ketika itu secara internal kebudayaan akan mengalami kematiannya.

Di sisi lain, bila suatu masyarakat sedemikian terbuka terhadap kebudayaan yang datang dalam kehidupan masyarakat tersebut tanpa memiliki daya saring dan daya tolak, ia pun akan mengalami nasib yang tidak lebih sama. Karena, manusia dalam masyarakat tersebut menjadi objek bagi kebudayaan lain. Masyarakat tersebut akan mengalami kondisi amnesia (lupa akan dri, ada).

Dengan demikian, resepsitas dan resistensitas masyarakat terhadap kebudsyaan lain harus dalam kadar dan tingkat yang seimbang. Lalu, apa yang harus dilakukan suatu masyarakat dengan kebudayaannya ketika ia berhadapan dengan masyarakat dan kebudayaan lain? Sehingga ia tetap menjadi dirinya sendiri secara autentik, kalaupun ia menggunakan kebudayaan yang berasal dari masyarakat lain.

Kebudayaan merupakan kristalisasi dari sejarah psikologis dan kreatifiitas sebagai biografi masa lalu masyarakatnya. Masa lalu yang membentuk wilayah sub-sadarnya sebagai dasar dalam merumuskan dan mengkonseptualisasikan pandangannya tentang dirinya, alam sekitar dan nilai bagi kehidupannya. Konsep yang dalam terminologi antropologi atau ilmu budaya dikenal dengan “pandangan kosmologis”. Suatu pandangan yang merupakan upaya pemetaan dan positioning dirinya dalam lingkup ruang-waktu yang mengitarinya. Dalam teorema van Peursen, pandangan kosmologis ini merupakan keputusan yang diambil masyartakat sebagai strategi dalam memahami untuk menjalani kehidupan di bawah “tekanan-tekanan” fenomena dan kondisi yang melingkupinya. Strategi untuk memahami kondisi keterhimpitan yang tidak dimengertinya menjadi sesuatu yang sungguh dimengerti, yang melahirkan nalar budaya tertentu. Nalar budaya pun, pada akhirnya “harus” dipahami sebagai sesuatu yang memiliki hubungan interdepedensi dengan pandangan kosmologis yang hidup dalam masyarakat.

Pandangan kosmologis, sebagai merupakan kristalisasi yang bersifat konseptual dari pengalaman masyarakat dalam memahami dan merespon penampakan dunia luar dirinya (“alam”), menentukan wujud prilaku dalam merespon alam dan lingkungannya. Seni, sebagai strategi kebudayaan, merupakan wujud respon terhadap alam dan lingkungannya. Seni merupakan prilaku simbolik masyarakat untuk menyelaraskan antara struktur prilaku alam dan lingkungannya dengan struktur pengalaman bathinnya. Dengan demikian, seni dan tradisi-tradisi lainnya dalam suatu masyarakat tidak bisa hanya dipahami dalam paradigma empirik, tanpa memandangnya sebagai “dunia” ketiga kehidupan manusia. Yaitu, dunia simbolik, dunia yang hidup dalam pikiran manusia. Dunia yang dianggap nyata oleh suatu masyarakat, secara apriori, akan tetapi bisa dianggap sebagai khayalan atau prilaku neurosis oleh masyarakat lain. Ekspresi kebudayaan, khususnya dalam dunia seni, bukan masalah benar atau salah, akan tetapi persoalan pemaknaan. Realibilitas suatu seni budaya tidak bisa dilihat dalam nalar rasional dan nalar empirik belaka, akan tetapi pada sejauh mana suatu masyarakat memberi makna dan “menghayati”-nya. Sebagai ilustrasi, generasi muda Indonesia yang belum tentu memiliki kemauan berbahasa Inggris dengan baik, bisa saja ia menikmati dan mengapresiasi seni musik Barat dengan baik. Dalam bahasa yang sering kita dengar, mungkin sebagai pernyataan apriori, bahwa mereka lebih bisa mengalami nilai-nilai religius dengan mendengarkan lagu-lagu atau musik Barat, dari pada alunan ayat suci sekali pun; dan lebih bisa menghayati kearifan dan nilai-nilai kemanusia melalui lagu-lagu dan musik tersebut, dibandingkan dengan bila mendengarkan lagu-lagu dan musik tradisional. Hal ini bisa dipahami bila ia telah mampu memahami dan mengalami pandangan kosmologis yang hidup dalam nalar masyarakat dan kebudayaan Barat. Kalau tidak, jangan-jangan yang ia hayati hanyalah nalar populis. Yaitu, menikmati tuntutan popularitas, bukan keselarasan antara seni dengan biografi kehidupannya. Nalar yang merepresentasikan kepribadian yang mengalami “amnesia”, lupa akan diri.

Masyarakat Sunda, sebagai masyarakat yang hidup dalam alam dan kultur Sunda, tentunya memiliki seperangkat pandangan kosmologis, sebagai kristalisasi biografi masa lalunya; baik masa lalu pribadinya, maupun masa lalu yang diwariskan pendahulu atau nenek moyangnya. Biografi yang secara “dialektis” menghasilkan cara pandang baru (sintetik). Dialektika tersebut terjadi dalam bentuk evaluasi dan kritik budaya, dengan prinsip “bertolak dan menolak”. Maksudnya, kritik dan evaluasi yang dilakukan tetap berpijak di atas pandangan kosmologis sebelumnya, untuk membangun pandangan kosmologi baru, atau paling tidak memberikan makna baru terhadap pandangan kosmologi sebelumnya.

Kritik dan evaluasi kultural tersebut dilakukan baik dalam proses penerimaan maupun dalam proses penolakan. Bila penerimaan suatu kebudayaan tanpa melakukan kritik dan evaluasi tersebut akan menimbulkan keterputusan hubungan sejarah dan biografi antara dirinya dengan kebudayaannya. Ia merespon kebudayaannya secara semu, dan hanya menangkap sisi-sisi permukaanya. Bila demikian, kebudayaan hanya hadir sebagai warisan masa lalu tanpa memiliki fungsi-fungsi sosial dan budaya bagi diri dan masyarakatnya. Pentas seni tradisional, sebagai contoh, hanyalah menjadi ritus pemeliharaan artepak budaya masa lalu, bukan sebagai ekspresi dan apresiasi terhadap kebudayaan tersebut.

Sebagai ilustrasi, mengapa masyarakat Sunda kiwari pada umunya tidak memiliki dan tidak mampu mengapresiasi kebudayaan lokalnya? Jangan-jangan karena mereka tidak lagi memiliki ketersambungan pandangan kosmologi dan pengalaman biografisnya dengan dasar pijakan kosmologis dan biografi yang melatarbelakangi lahirnya seni dan kebudayaan Sunda.

Secara kultural, di mana sesungguhnya pandangan kosmologi masyarakat tradisi berada? Pada umunya, pandangan kosmologi suatu masyarakat tergambar dalam khazanah mitologisnya. Demikian juga dengan pandangan kosmologi Sunda, terdapat dalam kekayaan khazanah mitologinya. Namun, berapa banyak sesungguhnya masyarakat muda Sunda kiwari yang mengenal khazanah mitologi Sunda. Karena, mitos dalam pandangan masyarakat Sunda “modern”, telah dianggap sebagai sesuatu hayali belaka, tidak memiliki makna dan pijakan yang berdasar. Mudah diduga, bahwa pandangan ini muncul dari paradigma modern yang berpijak di atas paradigma positifisme, yang mengharamkan hadirnya pandangan dan paradigma mitologis.

Bila demikian, bagaimana kita mesti menyikapi mitos-mitos yang hidup dan dikenal dalam masyarat sendiri, Sunda? Dalam kacamata kesekarangan atau kemodernan, memang sulit untuk bisa menerima kehadiran mitos tradisi kecuali hanya sebagai cerita-cerita pengantar tidur. Cerita yang hanya hidup dalam hayalan anak kecil belaka. Untuk bisa menghidupkan kembali mitos-mitos tradisi sebagai pijakan pandangan kosmologis tampaknya harus dilakukan pemaknaan ulang secara “kritis” terhadap mitos-mitos tersebut. Dr. Afifi Muhammad, salah seorang dosen senior penulis, pernah mengatakan dalam salah satu kuliahnya: “Saya tidak peduli apakah cerita-cerita dalam kitab suci itu benar-benar ada dan terjadi, yang penting bagaimana saya bisa mengambil makna dan pelajaran dari cerita tersebut”. Bila nalar yang sama kita gunakan untuk melihat mitos-mitos tradisi, kita bisa mengatakan, “Tidak penting apakah mitos-mitos tradisi itu menceritakan apa yang benar-benar terjadi atau hanya hayalan belaka, yang lebih penting adalah pelajaran dan makna apa yang bisa kita ambil dari cerita mitologis itu”. Dalam wacana teologi Kristen Modern, cara pandang ini dikenal dengan “demitologisasi”, teologi yang dikembangkan oleh Butlman. Suatau metode teologis yang berusaha untuk melihat cerita-cerita keagamaan yang berbau mitologis, dalam relasinya dengan konteks sejarah manusia. Sehingga, cerita-cerita tersbut memiliki jiwa makna historisnya.

Dengan cara pandang ini, cerita-cerita keagamaan maupun mitos, bahkan mungkin film-film modern dan telenopela, nilai pentingnya bukan pada apakah ia benar-benar terjadi, akan tetapi pada makna dan pelajaran yang bisa kita ambil dari kesemuanya itu. Bila kita berpikir secara kritis dan adil terhadap nenek moyang setiap bangsa yang kita anggap naif dan kita menganggap bahwa mereka memandang mitos sebagai kejadian yang sunguh-sungguh terjadi, jangan-jangan mereka sendiri tidak pernah memandang demikian. Kalau pun mereka berpandangan demikian, hanyalah untuk menjaga kehidupan mitos tersebut dalam pikiran generasi penerusnya, sebagai wujud tanggung jawab terhadap anak cucunya. Karena, mitos dalam konteks budaya tak lebih dari “simbolisasi” dan deskripsi secara “teaterikal” terhadap pandangan hidup masyarakatnya. Mereka menjaganya dengan mengangkat cerita-cerita tersebut dengan mengangkatnya dalam matra dunia sakral. Hal itu dilakukan, karena mereka sadar bahwa pandangan kosmologis, yang tertuang dalam cerita mitologis dan cerita-cerita keagamaan, merupakan unsur penting bagi kehidupan suatu masyarakat. Mitologi, seperti diungkap van Peursen, seperti halnya paradigma ilmiah modern, merupakan pedoman dan paradigma suatu masyarakat atau generasi tertentu dalam menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan itu pula mereka memproduksi karya-karya budaya baru, termasuk seni tradisi. Maka, untuk bisa mengapresiasi dan menghayati serta menikmati seni budaya tradisi harus pula memiliki pengetahuan dan berdasarkan pada penghayatan terhadap paradigma mitologisnya. Untuk itu, untuk menjadikan kebudayaan dan seni tradisi harus pula diiringi dengan sosialisasi dan internalisasi tradisi mitologi sebagai dasar kosmologiya. Bila tidak, maka, kalau pun seni tradisi masih tetap hadir dalam masyarakat, termasuk seni tradisi Sunda, tak lebih hanya sebagai karya seni yang tidak memiliki kekuatan dan daya hidup masyarakatnya. Ia (seni tradisi), tak lebih seperti “jombi” dan bayang-bayang yang bergerak tanpa memiliki daya hidup.


Penulis: Dosen dan Ketua Jurusan Filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Anggota Kelompok Studi Budaya Sunda “Pasamoan Sophia Bandung”.

Catetan Baba Icon

Yang Muda Yang Nyunda

Ahmad Gibson Al-Bustomi

Mukadimah: Membuka Dinding Rumah

Max Muller, seorang ahli filologi, bilang bahkan kata atau bahasa merupakan salah satu yang sumber penyakit. Ia menyebutnya sebagai penyakit bahasa. Banyak yang lahir dari gejala penyakit bahasa ini, mitologi salah satunya. Sejauh manusia menggunakan bahasa verbal, kata-kata, selama itu pula gejala penyakit bahasa ini akan senantiasa muncul dan muncul lagi. Penyakit bahasa ini lebih sering terjadi dalam kehidupan politik, khususnya di Indoensia. Kini, muncul lagi gejala penyakit bahasa yang kurang-lebih sama parahnya. Kata yang kini sedang menggejala dan menjadi semacam virus yang membuat bibir menjadi gatal untuk senantiasa mengatakannya, dalam kondisi apa pun. Yaitu, kata “global” (mondial), atau lengkapnya “globalisasi”. Sebuah projek mega raksasa yang kini berhembus kencang dari arah barat. Tak ada kata-kata pembukaan rapat, pidato, ceramah agama, proposal atau apa pun yang luput dari kata ini. Saya tidak terlalu yakin bagaimana dengan mimpi?

Dengan “isu” yang bagaikan angin puting beliung itu, negara adi daya yang memerlukan pasar bagi produk “industri”-nya, kini menyeret semua negara-bangsa, khususnya negara dan bangsa dunia ketiga untuk masuk dalam jaring-jaring itu. Dan, melupakan serta menepis identitas-identikan lokalnya. Identitas yang dicap dengan besi panas yang sulit dihapus sebagai identitas tradisional yang terbelakang dan anti kemajuan. Masyarakat negara dan bangsa dari dunia ketiga yang berkinginan untuk “memapaki” dan menyamakan posisi mereka dengan negara lainnya tentunya melihat ini sebagai peluang mewujudkan keinginannya untuk berperan serta dalam percaturan tingkat dunia, walaupun dengan resiko harus mampu bertahan menghadapi pusaran roda raksasa yang siap melindasnya. Percaturan ekonomi global pada kenyataanya bukan hanya melibatkan aspek ekonomi dan politik belaka, pada akhirnya melibatkan seluruha aspek dari pola kehidupan (life-style) masyarakatnya.

Umpan modernisasi yang sekian puluh tahun telah digulirkan telah berhasil menjerat ikan, kecil-kecil tapi banyak. Kini, umpan baru tentunya tidak terlalu sulit untuk ditawarkan. Karena ikannya telah mabuk dan tidak mampu lagi menunjuk arah angin secara benar. Efeknya cukup menarik: apa yang baik di negara adi daya (baca: Amerika dan Eropa) baik pula bagi kita, dan apa yang jelek di negeri adi daya wajarlah kalu kita pun mengalami hal yang sama. Maksudnya, bila ada kejelekan (penyimpangan) akibat suatu aktivitas pembangunan, sebagai contoh, menjadi wajar dan masih dianggap baik apabila hal itu pun terjadi di negara barat sana. Lebih gila lagi, kita sering bersikap sinis terhadap kebaikan yang sebagian dari kita lakukan dan pertahankan, sedangkan di barat terjadi sebaliknya, kita cenderung menganggap mereka sebagai kelompok ekstrim yang sok suci, sok moralis dan identitas sejenis. Dengan kata lain, globalisasi bukan lagi sikap bersama untuk terbuka terhadap setiap perbedaan yang dimiliki setiap negara dan bangsa sebagai bagian integral dari masyarakat dunia (ide luhur pluralisme). Melainkan adanya “pernekanan” baik secara langsung atau pun tidak langsung dari negara maju, negara adi daya, terhadap negara dan bangsa dunia ketiga untuk menerima dan menggunakan sistem nilai apa pun yang mereka miliki, berlaku di degara mereka. Dengan demikian, keberadaan sistem nilai dan produk budaya lokal, secara konskwensional, keberadaannya sangat terancam dan tertolak.

Persoalan mendasar yang kini kita hadapi adalah hilangnya kepercayaan diri kita terhadap sistem nilai budaya kita sendiri. Kita sudah tidak lagi percaya bahwa kita masih bisa hidup dan melangkahkan kaki kita secara dinamis dan kreatif dengan apa yang kita miliki. Gejala ini bukan hanya menjangkit kaum tua, akan tetapi juga menjangkit kaum mudanya, khususnya kaum muda Sunda.

Menjadi Diri Sendiri atau Tidak Sama Sekali

Hidup adalah sebuah kepastian (faktisitas), dan menjalaninya adalah sebuah pilihan dari sejumlah kemungkinan. Tidak ada seorang pun yang lahir dan hidup menjadi dari masyarakat tertentu sebagai pilihannya, seperti halnya tidak ada yang memilihi untuk lahir sebagai suku bangsa Sunda, atau suku bangsa lainnya. Bahkan tidak ada pula yang (bisa) memilih terlahir sebagai manusia, binatang, tumbuhan atau salah satu dari benda mati yang ada di dunia ini. Faktalah yang mengatakan bahwa kita hidup sebagai manusia dari ras suku bangsa Sunda, atau yang lainnya. Sedangkan bagaimana kita menjalani kehidupan kita sebagai bagian dari suku bangsa Sunda adalah pilihan kita sendiri. Yang jelas kita tidak bisa merubah diri kita untuk tidak menjadi suku banhsa Sunda.

Setiap suku bangsa, selain dicirikan oleh kondisi fisiknya, juga dicirikan oleh struktur budayanya. Dan struktur budaya terlahir sebagai respons, atau sebagai strategi[1], terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi manusia. Persoalan yang terlahir dari keberhadapan manusia dengan lingkungan alam (baik yang tampak statis maupun yang berubah-ubah), masyarakatnya, dirinya sendiri dan dengan pola kehidupan masyarakat lain di luar lingkungan masyarakatnya sendiri (interaksi antar masyarakat dan budaya).

Strategi dan respons tersebut secara terus menerus dan bertahap membentuk struktur baku dalam kurun tertentu, dan secara dinamis mengalami perubahan pada kurun lainnya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapinya. Itulah kebudyaan. Lintasan sejarah yang dilalui masyartakat dengan kebudayaannya itu membentuk kepribadian masyarakat secara bersama-sama. Kini kita mengenal kepribadian Sunda, Jawa, Batak, kepribadian timur, kepribadian Barat, dan lain sebagainya. Kepribadian bersama itu secara formal melahirkan apa yang disebut norma sosial-budaya. Norma-norma tradisi yang pada masyarakat tradisional tertuang dalam mite serta legenda yang hidup dalam masyarakat tersebut, dan terpatri dalam “bawah sadar” kehidupan masyarakatnya .

Kita mengenal, sebagaimana sering orang katakan, tentang karakter orang Sunda sebagai masyarakat yang lemah lembut, santun, cenderung mendahulukan orang lain dari pada dirinya sendiri, sebagai bersifat tertutup dan sebagai bersifat terbuka dan terus terang, cenderung tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain, dan lain sebagainya. Orang Sunda selain memiliki kecendrungan pragmatis pada sisi kehidupan kesehariannya, namun ia pun memiliki konsern terhadap persoalan-persoalan persenungan dan peningkatan kualitas spiritualnya. Pribadi yang memiliki Intensionalitas yang kadang sulit diduga. Karakter-karakter tersebut kadang disimbolkan oleh sejumlah tokoh individual yang diungkap dalam sejumlah legenda atau mite. Kita mengenal tokoh si Kabayan, Mamang Lengser, dan tokoh-tokoh besar lainnya seperti: Guruminda dan Dewi Asri (tokoh cerita mite Lutung Kasarung), Mundinglaya di Kusumah dengan Dewi Asri, Jaka Sabeulah, Sangkuriang, dan lain sebagainya. Cerita tersebut kini telah menjadi terkubur di bawah tumpukan puing-puing masa lalu ki Sunda dan bayang-bayang masa depan muda Sunda yang telah terasing dari budayanya. Masihkan muda Sunda mengenal tokoh-tokoh cerita tersebut? Penulis tidak pernah berani untuk menduga.

Muda Sunda mungkin bertanya-tanya, untuk apa kita mengenal tokoh cerita usang itu? Cerita yang hanya ada dan terlahir dari masa lalu yang gelap? Saya hanya bisa berkata, bahwa tidak ada cerita manusi ayang pernah menjadi usang, dan semua cerita tentang manusia senantiasa terlahir dari kegelapan masa lalunya. Yang ada hanyalah kebebalan kita karena silau dengan cahaya kilat yang hanya terang sesaat. Apakah kita harus berbohong pada diri kita sendiri, bahwa kita lebih pandir dari si Kabayan? Tidak lebih serakah dari Sangkuriang? Dan bukankah kita pun tidak lebih dari seokor kera yang tersesat di tengah rimba untuk menemu yang kita idamkan? Ketika bercermin di sisi sungai, kita pun terkejut dengan wajah dan wujud diri kita. Lalu, kita berusaha mengganti penampilan kita dengan penampilan orang lain. Berganti lagi dan berganti lagi; setiap hari kita senantiasa berusaha untuk merubah penampilan dan peran yang kita mainkan.

Bila Gurumunda yang berwujud lutung (kera hitam) mampu berlaku jujur dan menerima keadaan sebenarnya, ia mampu mengembalikan wujudnya semula, setelah “mutiara” (bagian penting dari dirinya ditemukan, ….). Lain halya dengan Sangkuriang, yang walaupun dengan seambreg kesaktian, namun ia tidak pernah mampu mengenal asal-usulnya dan akhirnya ia mengalami “kehancuran diri” karena itu. Atau mungkin kita adalah Mundinglaya di Kusumah yang harus mati dan mati lagi sebelum akhirnya menemu apa yang dicari? Atau kita (muda Sunda) hanyalah sosok pun Boncel yang lupa akan diri dan asul-usul kita hanya karena kita mendapat sedikit kehormatan, jabatan.

Semua itu hanyalah cerita mite (realitas maya), tapi pada hakikatnya adalah gambaran dari kehidupan kita sendiri. Tapi siapa yang tidak tahu bahwa kehidupan modern sekalipun tidak pernah lepas dari keberadaan realitas maya tersebut. Demikian juga dengan agama. Pemikiran atau gagasan manusia tentang realitas ideal senantiasa bersifat maya. Validitas rasional (rasionalitas) dunia maya hanyalah masalah paradigma. Dan, paradigma tidak pernah luput dari perubahan dan senantiasa terbuka atas kritik.

Hal terpenting dari dunia maya adalah bahwa dalam dunia maya manusia menemukan kebebasan imajinatifnya. Apakah produk imaji itu memiliki dasar historisnya sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (autentik) atau pun tidak menjadi tidak penting. Yang paling penting adalah mampu atau tidaknya kita menangkap “makna” atau “kearifan” dari risalah atau cerita yang kita sebut maya atau imajinatif itu. Sebagai ilustrasi balik, kalau pun peristiwa historis Proklamasi 17 Agustus 45 dan peristiwa penghiatan G-30S-PKI itu benar-benar terjadi dan memiliki seambreg bukti historis, tapi apabila kita tidak pernah mampu menangkap makna dan pelajaran dari peristiwea historis itu, maka persitiwa itu tidak lebih berharga dari cerita film Rambo bahkan dibanding cerita film Doraemon sekalipun.

Mitologi dan Kepribadian Bangsa

Kebesaran suatu bangsa senantiasa dibangun oleh kebanggaannya terhadap masa lalunya. Bila kita harus menyebut sejumlah negara adi daya yang kini “menguasai” dunia, mereka senantiasa dibarengi oleh kebanggaan mereka terhadap sejarah masa lalunya, sekecil apa pun itu. Kita sebut saja Amerika Serikat (USA) yang begitu bangga dengan tradisi cowboy-nya. Tradisi yang menurut orang tua penulis sebagai tradisi barbar, karena pekerjaannya adalah membunuh orang. Bahkan orang amerika sendiri menyebutnya sebagi masa wild-west. Atau kebudayaan Eropa, mereka begitu bangga dengan kebudayaan Viking, dan tetap memelihara cerita-cerita mitologisnya. Lebih dari itu mereka berusaha untuk menemukan relevansi rasional keyakinan mite mereka dalam kehidupan historisnya. Heroisme Jepang sebagai contoh lain di Asia, dipijakkan di atas asumsi mitologis yang bagi pemikiran modern-positivistik tentunya sangatlah memalukan. Tapi dengan kekuatan mitologis itulah etos Jepang dibangun. Etos yang dibagun di atas kerangka mitologis sebagai bangsa yang ditakdirkan untuk mentguasai dunia. Demikian juga negara lain seperti Jerman, Yunani dan sejumlah negara Eropa lainnya.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sama sekali tidak memiliki tradisi mitologis. Cerita mitologis yang ada hanyalah milik suku-suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Kecuali mite tentang perjuangan kemerdekaan bisa disebut sebagai mite bangsa Indoesnia. Yaitu mitologi bersama tentang perjuangan melawan penjajah: mitologi sumpah pemuda, mitologi peritiwa heroik di Surabaya, mitologi Kartini, Mitologi perjuangan Revolusi 1945, perjuangan melawan penghiantan G 30 S-PKI dan mitologi-mitologi sejenis yang kini menjadi hari besar Bangsa indonesia. Akan tetapi mite-mite tersebut hanya menjadi sejarah kebanggan para bangsawan, politisi dan militer. Masyarakat sivil, yang mayoritas, seolah-olah teralienasi dan terpinggirkan dari mitologi tersebut. Mereka lebih bisa menikmati dan menemukan kearifan dari cerita pewayangan, mitolagi, legenda atau cerita heroik seperti cerita-cerita rakyat. Dan itupun bagi masyarakat generasi tua. Bagaimana dengan masyarakat mudanya? Bisa disebut bahwa mereka sama sekali tidak memiliki referensi yang bisa dijadikan sebagai media untuk mengembangkan dunia imajinasinya, dunia maya. Kalau pun ada tiada lain dari pinjaman dari tradisi mitologi bangsa lain yang masuk melalui media.

Karena mitologi yang dicerna oleh kaum muda sekarang, kshususnya muda Sunda, adalah pinjaman dari bangsa lain tidak heran bila mereka kesulitan uyntuk menemukan relevansinya dengan kebudayaan asalinya. Mereka mengalami split personality: Penampilan dan pemikiran barat (modern) tapi mentalitasnya rapuh, karena ia sama sekali tidak meiliki kembangaan terhadap masa lalu dirinya. Untuk menerima modernitas yang western (nge-barat) terpaksa ia harus menafikan masa lalu sejarah bangsanya yang dianggapnya tradisional dan terbelakang tanpa sempat memahami dan mengalaminya.

Menjadi Modern dalam KeSundaan: Yang Muda Yang Nyunda

Menjadi “modern” tampaknya merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarai, akan tetapi modern dengan kehilangan karakter asali bulkanlah pilihan. Oleh karena itu penerimaan terhadap modernitas (progresif) hanya mungkin apabila Yang Muda memiliki pijakan yang kokoh terhadap kediriannya yang asali, autentik.

Terdapat beberapa karakteristik ke-Sunda-an yang mungkin bisa dikemukakan dan digali (dielaborasi) secara lebih seksama untuk dijadikan pijakan untuk menjadi manusia modern yang Nyunda, antara lain:

1. Sikap optimistik yang digambarkan oleh tokoh cerita si Kabayan.

Karakteristik cara pandang tradisional yang menganggap bahwa mansuia (mikro-kosmos) sebagai bagian integral dari alam semesta (makro-kosmos) membuat manusia tidak pernah merasa hidup sendirian. Ia membuat relasi eksistensial dengan lingkungan sosial dan alamnya sekitarnya. Relasi yang saling menegaskan eksistensinya. Alam tidak pernah dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi manusia. Oleh karena itu si Kabayan begitu percaya bahwa alam tidak akan pernah membuatnya sengsara. Dengan deskripsi yang “radikal”, cerita tokoh si Kabayan digambarkan sebagai tokoh yang memiliki pandangan bahwa tanpa “berusaha” pun manusia akan tetap hidup karena alam akan senantiasa memberinya makan! Selama manusia bersikap arif dan tidak pernah mencelaki dan menghianati lingkungan alamnya.

Ada cerita yang sangat populer dari Cerita Si Kabayan, yang biasanya dijuduli “El..da Deet”. Dikisahkan Si Kabayan diminta istrinya (si Iteung) menangkap tutut (siput, keong) di sawah. Uniknya si Kabayan menggunakan kail bukannya dengan cara memungut tutut dengan tangan secara langsung. Prilaku ini memuat penasaran istrinya dan bertanya pada si Kabayan tentang prilakukanya itu. Si Kabayan menjelaskan bahwa tidak mungkin memungut tutut itu secara langsung karena sawah itu ternyata demikian dalam, sedalam langit “tingali langit wae katinggali”. Dan karena kesal, si Kabayan di dorong sehingga ia masuk ke sawah, dan serta merta ia bberkata, “el..da deet”. Ternyata air sawah itu sama sekali tidak dalam.

Hikmah atau ke’arifan apa yang kita bisa kita ambil dari cerita ini? Cerita yang sederhama bahkan kocak dan bernuansa kebodohan, akan tetapi terdapat kritik yang sangat cerdas dan brilian. Selamat mengkaji dan menafsir. Apa pun tafsir yang kita berikan, adalah benar. Karena kita akan menafsir cerita ini, dan apa pun, tentunya sesuai dengan referensi dan bagaimana koita menjalani kehidupan ini.

2. Diri sebagai Pusat Dunia. Para ahli antropologi membagi tiga sistem budaya, khususnya di Indonesia, yaitu sistem budaya pantai atau sungai, sistem budaya ladang basah (sawah), dan sistem budaya ladang kering (Sunda=huma), sistem budaya.

a. Sistem budaya pantai atau sungai. Sistem budaya sungai terlahir dari masyarakat yang hidup di sekitar pantai atau sungai. Dinamika air sungai dan pantai serta kerasnya kehidupan pantai serta sungai membentuk masyarakat yang tegas dan keras. Selain itu karena sungai maupun pantai memiliki fungsi komunikasi dan transfortasi maka masyakat ini sangat terbuka dan cenderung memiliki pola budaya pluralistik. Simbol-simbol kelautan tercermin dalam sistem keyakinannya.

b. Sistem budaya ladang basah (sawah). Sistem budaya sawah memiliki ketergantungan yang sangat terhadap sistem irigasi. Dan, sistem irigasi sangat memerlukan pola distribusi yang disepakati secara bersama dalam masyarakat tersebut. Sifat vital dari irigasi melahirkan kecenderungan orang untuk menguasai pasilitas vital itu. Cara untuk menguasai pasilitas vital tersebut tiada lain dengan menguasai masyarakatnya. Dan, secara konsekwensional, kekuatan seserang terletak pada solidaritas komunitasnya: kualitas individu terletak pada solidaritas masyarakat atau komunitasnya.

c. Sistem budaya ladang kering (huma). Sistem budaya ini cenderung berada di wilayah pedalaman yang jauh dari pantai dan berada di dataran tinggi. Wilayah pedalaman di Jawa Barat merupakan wilayah pegunungan (Sunda=leuweung) dan perbukitan (Sunda=pasir) yang subur menghijau, dengan curah hujan yang tinggi. Keadaan giografis dan curah hujan membuat masyarakat Sunda (mayoritas penghuni jazirah Jawa Barat) tidak memiliki ketergantungan terhadap komunitas kecuali keluarga dekatnya dan tertama terhadap alamnya. Kondisi yang membuat ki Sunda cenderung individualistik, dalam pengertian ia cenderung mengutamakan kualitas individual dan memiliki kerpercayaan terhadap kekuatan indivisula (diri sendiri) dari pada bergantung pada kekuatan komunitas.

Karena kualitas individual yang menjadi kekuatan ki Sunda maka mite yang berkembang dalam masyarakt Sunda umumnya berbicara tentang proses pembentukan dan perjalanan seorang individu yang melakukan proses perjalanan “spiritual” dalam rangkan “menemukan” dirinya. Sebagai diri yang “masagi”. Diri yang tidak tergantung pada masyarakat tapi memiliki kepedulian yang kuat terhadap masyarakat, dunia. Hal ini tampak pada mite Munding Laya di Kusumah, Lutung Kasarung, dan mite Sangkuriang (ada yang mengartikan sebagai sang kuring, “Aku”).

3. Tungkul ka Jukut Tanggah ka Sadapan. Ungkapan tersebut merupakan prisinsip hidup ki Sunda, yang memiliki arti: senantiasa berpijak pada potensi dan tempatnya berpijak baru menerawang dan melebarkan sayapnya untuk mencapai angkasa. Atau dengan ungkapan lain yang lebih populer: mulailah dari diri sendiri!, seorang yang hebat bukanlah yang mampu membunuh dan menguasai musuhnya, mrelainkan orang yang mampu menguasai dirinya sendiri.

4. Heuheuy jeung Deudeuh. Hidup adalah sandiwara, kita saling menatap, menilai dan kadang saling mentertawan diri sendiri. Sikap apa pun yang kita ekspresikan terhadap dunia dan kehidupan ini, dunia tetap akan berputar dan mata hari akan menemui kita esok hari. Oleh karena itu tersenyum dan berbahagialah, take it easy man!! dan itu pun tidak akan pernah terjadi bila tidak ada cinta-kasih dalam dada. Senyuman hanya akan di bibir kita bila dada kita penuh dengan kasih-sayang dan cinta kasih. Hanya senyuman dan cinta kasih yang akan membuat sinar matahari terdiam dan terus menerus menerangi bumi ini, kalau pun sang mata hari berada dibalik bumi kita.

Masih banyak yang perlu diungkap, tapi setajam apa pun pena nuranilah yang menggerakkannya. Dan, setiap nurani yang ada dalam “dada” dan menaungi kehidupan seluruh manusia, khsusunya muda Sunda, telah begitu cepat melesat menggoreskan penanya masing-masing mendahuli apa yang akan saya katakan, tuliskan.

Wassalam.



[1] Istilah yang digunakan van Peursen

Wawacan Karaman

Kawitan anoe digoerit,

didanding dikarang témbang,

manawi djadi katembong,

ari nganggo génding témbang,

kaanggo landing bingbang,

manawi djadi panjamboeng,

dongeng baheula dikarang.

Malah mandar jadi résmi,

Ieu tjarita utama,

Lalakonna langkoeng rame,

Anu disarabét ama,

Ku sadaya djéléma,

Oerang Bandoeng prantos bakoe,

Njébut ama Raksapradja.

Hanjakal moen teu didangding,

Noe endah matak ngahoedang,

Sakitu saena dongeng,

Tjarios djalma garandang,

Noe sédja ngabar pédang,

Noe rek ngandih menak Bandoeng,

Geus masher pisan asmana.

( Asmarandana )

Wawacan Karaman

Muhammad Ziaulhaq, S.Th.I

Anoe katjatoer mimiti …

Boeboeka ieu tjarita …

Kisah dalam naskah Rasiah Pringan ini terjadi ketika nagri Bandung dipimpin oleh Kanjeng Adipati Wiranata Koesoema. Putra dari Dalem Bintang, seorang Dalem Karanganyar. Kepribadian Dalem Bandung sangat bijak bestari, adil, sabar, dan shaleh. Giat beribadah, selalu memuji Gusti dengan berbagai puji-pujian. Menyembah kepada Yang Maha Mulya, Gusti Allah Yang Agung, serta selalu bershalawat kepada Rasulullah saw. Kanjeng Dalem sangatlah kaya. Banyak uang banyak sandang-pangan. Hewan ternak tak terhitung. Sapi, Kerbau, Kuda, Kambing, Ayam, Entog, Bebek, dan Angsa.

Pada masa itu Patih Bupati dijabat Raden Aria Angga Adikoesoemah. Dengan kepribadian gagah dan berkesan. Bijaksana nan budiman. Beristri Ayu Simbar. Seorang Patih turunan Dalem Gajah. Patih yang sangat setia, patuh, dan taat kepada perintah Dalem.

Jurutulis Patih dijabat oleh Raden Djajakoesoemah yang gagah dan berkesan, paling pintar di masanya. Pasih berbicara dan menarik dalam tutur kata. Jurutulis pandai membujuk manis, sedap dalam pengucapan, dan baik budi.

Ketika itu Bandung diperintah oleh Asisten Residen Nagel. Dia memerintah Bandung sampai akhir hidupnya. Nagri Bandung maju, gemah ripah tur raharja. Jalan-jalan diatur rapih. Saluran air dibangun. Tegalan dan pedataran dibuka, dibersihkan dan dirapihkan.

Komandan prajurit dijabat oleh Raden Mertadiradja. Seorang Letnan Perang. Senapati nagri Bandung, membawahi seratus prajurit. Berperawakan tinggi, pemberani, berjanggut lebat, dan berkumis tebal. Ditakuti para prajurit.

Sersannya seorang Belanda bernama Tuan Reijs.

Prajurit Sunda bernama Ki Martagoena, dan kopralnya bernama Mastaredja.

Pimpinan yang mengepalai pulau Jawa adalah Raden Djajapoespita, menak dari Jawa Timur.

Jaksa nagri Bandung yang memimpin kepolisian adalah Raden Demang Mangoennagara yang mengurusi keadilan di nagri Bandung. Penghulu Agung di Bandung, bernama Raden Ardi, pemimpin keagamaan bernama Raden Haji Abdurrahman.

Jurutulis kantor Bupati bernama Ki Tumenggung Raden Adinagara, yang berbudi dan tidak pernah mengecewakan. Pengurus Bende di Paseban adalah Ki Lengser Pa Sawali, berpangkat paling kecil, yang mengumumkan semua perintah Bupati. Kumetir Kopi dijabat oleh Den Mandoeraredja. Mantri dalam nagri dijabat oleh Den Sastranagara putra Kanjeng Adipati Wiranata Koesoema.

Wedana Rongga bernama Mas Kétapraja. Wedana Cihea bernama Najadjibdja. Wedana Cisondari bernama Den Wangsakoesoema. Demang Rajamandala bernama Mas Wangsapraja, yang memimpin distrik Rajamandala. Wedana Ciparay bernama Rangga Abukari. Wedana Majalaya bernama Den Rangga Anggawiredja, asal Parakanmuncang. Jaksa di Majalaya, dan mengepalai kepolisian bernama Mas Djajadipa.

Wedana Ujungberung bagian timur bernama Raden Raksamanggala. Wedana distrik Banjaran bernama Den Satjanagara, bergelar Aria, dan menjabat dengan titel Aria Satjanagara. Wedana distrik Cicalengka bernama Raden Anggadiredja putra Kanjeng Bupati. Wedana Cimahi bernama Den Wiranagara putra Anggadinata, seorang mantan Jaksa nagri Bandung yang kemudian diganti oleh Biskal Mangoennagara.

Wedana Blubur Limbangan bernama Mas Arsaen. Wedana distrik Tarogong bernama Den Raksadiraja. Wedana Cikembulan bernama Rangga Djajaredja, yang disayangi oleh Asisten Residen. Wedana Lembang bernama Raden Ardikusuma, seorang menak berbudi dan pintar, putra pertama Tumenggung Raden Adinagara yang berkantor di Bandung.

Residen di Cianjur ketika itu adalah Tuan Van Der Kapellen. Bupati Cianjur bernama Kanjeng Adipati Raden Prawiradiredja. Patih Cianjur bernama Den Natanagara. Penghulu Cianjur bernama Moeh’mad Djen. Jaksa nagri Cianjur bernama Raden Tisnadilaga. Komandan prajurit yang membawahi seratus prajurit bernama Raden Soerianagara, putra Kanjeng Bupati. Sersan Prajurit seorang Belanda bernama Tuan Gracman. Sersan Sunda bernama Djajengjoeda. Kopral bernama Ki Arsani. Bis-kopral bernama Wangsakarama.

Gerakan Karaman Raksaparadja

Raksaparadja berasal dari nagri Majalengka. Berikrar turunan Wali. Orang Bandung menyebutnya Ama Resi Raksaparadja, dipanggil Mah Resi. Kesehariannya mengajar Ilmu Weduk dan Ilmu Sakti. Ilmu Jaya Kejayaan dan Ilmu Menghilang. Murid-murid pun bertambah banyak, bahkan ada yang berasal dari menak nonoman di dayeuh Bandung. Dia seorang guru yang sembunyi di Bandung. Kiai yang bertujuan hasil materi. Pastinya tukang memperdaya membodohi para murid.

Raksaparadja melamun. Berniat tidak baik. Membuat pemberontakan untuk menguasai nagri Bandung. Membasmi semua menak agar duduk di kursi kekuasaan. Rencananya pergi ke Selatan, disana ada Pasanggrahan yang strategis dijadikan benteng pertahanan dan markas prajuritnya. Pasanggrahan berada di Gunung Tjajoer yang tinggi dan datar, menghadap ke laut pesisir. Letak pasanggrahan berada di wilayah nagri Cianjur, distrik Cidamar batas tanah Sukapura, dan Bungbulang sebagai batas nagri. Tepatnya berada di kampung Cikawung.

Untuk menjalankan rencananya, Raksaparadja menyamar sebagai Maha Resi. Bersama rombongan pengikut, mereka berangkat malam hari dari Bandung. Berjalan kearah sisi Laut. Melewati Pangalengan kemudian ke Caringin dan masuk ke Cisewu yang berada dibawah distrik Cidamar.

Dalam setiap perjalanan Raksapradja mengaku Maha Resi, seorang Pangeran Panembahan. Seorang waliyullah yang kuat dan sakti. Mengaku Prabu Sang Ratu Halipatullah, Raja Sunda yang adil. Masyarakat kecil daerah pesisir banyak yang tertarik bujuk rayunya. Mereka tunduk dan taat. Harta benda pun diserahkan. Beras, ayam, Ikan Laut dan Ikan darat, Kancil, dan Kijang.

Setelah sampai, Raksaparadja dan para pengikutnya mulai mendirikan markas di tanah datar yang menghadap ke laut. Rumah-rumah dibangun seperti keraton. Rumah para penjaga berjajar, yang dikepalai oleh Senapati. Berderetan pengikut Raksaparadja, Maha Wiku yang diagung-agungkan, dielu-elukan dengan sebutan Ratu Sunda pemimpin nagri.

Para pengikut sudah mencapai ratusan. Mereka berasal dari kampung-kampung, dari dusun-dusun. Siang malam selalu berpesta makan-minum. Menjagal Kerbau yang diambil dari tegalan orang lain. Menjarah padi dan beras. Tiap hari datang ke kampung-kampung. Orang yang tidak setuju kabur dari kampungnya, sedangkan mereka yang takluk diiring ke Pasanggrahan. Pasanggrahan menjadi sejahtera. Tombak dan senjata siap sedia, hasil dari menjarah kampung. Peluru dibeli dari Bandung oleh pengikutnya yang menyamar jadi pedagang.

Guru palsu Raksapraja siang malam mengajarkan ilmu kesaktian kepada ratusan pengikut. Ilmu kuat oleh senjata, ilmu agar kulit kuat oleh peluru. Semuanya hormat, sembah sujud mengkultuskan Maha Resi, disebut Sinuhun Gusti.

Orang-orang Desa yang ditaklukkan Raksaparadja berasal dari kampung Bantar Kamuning, Cikaso, Cidaun, dan Pangalengan. Kepala kampung yang tidak takluk lalu kabur, berjalan dan masuk ke Sindangbarang dan melaporkan hal tersebut ke petinggi distrik.

Untuk angkatan perang, Raksapraja melantik 10 Senopati. Yang pertama bernama Bapa Kasman disebut Pangeran Génjreng. Kedua Bapa Isman disebut Pangeran Bradjagelap. Ketiga Bapa Kainem disebut Pangeran Bradjaloemajoe. Keempat Aki Santi disebut Pangeran Senapati. Kelima Pa Kainah disebut Pangeran Bradjagantang. Keenam Aki Raiman disebut Pangeran Grantangtjoer’ga. Ketujuh Bapa Raesin disebut Pangeran Ombaksagara. Kedelapan Bapa Alnam disebut Pangeran Aria Bradjagéni. Kesembilan Bapa Ajoemah disebut Pangeran Poerbabaja. Kesepuluh Bapa Hasim disebut Pangeran Oejoenglaoetan. Itulah sepuluh orang yang dijadikan kepala prajurit.

……….

Pakean geus diganti,

Baju hideung laken sénting anoe aloes,

Sarta dipasmenan emas

Dina beuheung leungeun sami.

Calana lépas kapalang,

Lakén hideung jeung make samping batik,

Njoren kerisna dipoengkoer,

Katoehoe njoren gobang,

Ti kentjana nya njoren deui balieung,

Langkung ginding orang sisi

(Pangkoer)

Ambu Hawuk: Ratu Prameswari Panembahan

Kampung Bunihayu distrik Karang nagri Sukapura.

Dikisahkan Ki Paninggaran Alikarama berburu Rusa dan Banteng di hutan. Di tengah hutan dia menembak Banteng, tetapi tetap hidup tidak rubuh sampai kehabisan peluru. Kemudian ditinggalkan Banteng itu. Dia pergi mencari perkampungan di daerah sekitar hutan. Dilamunannya, semoga dia dapat bertemu seseorang yang mempunyai peluru, karena tak habis pikir kenapa Banteng itu tidak dapat rubuh dan mati!

Pada suatu kampung di distrik Karang.

Ki Paninggaran Alikarama melihat seorang wanita cantik jelita sedang menenun.

“Maaf Nyai, boleh ikut menumpang sekedar untuk istirahat dari rasa lelah?”

“Ooh, silahkan!” jawab wanita tadi sambil melapangkan tikar, “kenapa Aki bisa sampai ke tempat ini. Tersesat di tengah hutan?”

Sambil istirahat Ki Paninggaran menjelaskan bahwa dia mau minta bantuan, jikalau Nyi Mas punya timah atau bubuk besi yang tidak terpakai. Di hutan tadi dia menembak Banteng tapi tidak rubuh sampai kehabisan peluru. “Kalau memang ada, Nyi Mas mau jual berapa?”

Tanpa basa basi, wanita itu masuk kedalam. Tak lama kemudian dia keluar menghampiri Ki Paninggaran Alikarama sambil membawa wadah. Ki Paninggaran Alikarama kaget tidak kepalang. Dengan tersentak. Sambil mata melotot kaget. Isi wadah itu ternyata peluru yang dia tembakkan ke Banteng di hutan tadi! Heran.

“Pantas saja Banteng tadi tidak roboh, karena memang tidak ada yang kena!”

“Semua peluru ini memang kena ke tubuhku, tapi tidak ada yang menembus sedikitpun. Hanya menempel ke kain kebaya dan baju,” jawab Nyi Mas tenang, “ lalu semua peluru ini dikumpulkan. Sekarang silahkan ambil kembali semuanya. Sebab saya tidak punya senapan. Silahkan ….!”

Dengan penuh hormat dan kaget, Ki Paninggaran Alikarama segera mengambil semua pelurunya dan segera pamit undur pulang.

“ Saya pamit pulang, tapi sebelumnya…. Sebenarnya Nyi Mas ini siapa?”

“ Saya Ambu Hawuk. Ini rumah saya. Tiap hari hanya bertani dan menenun sendirian.”

Ki Paninggaran Alikarama segera pergi ke hutan dan meneruskan perburuannya.

Dengan hasil buruan.

Ki Paninggaran Alikarama bercerita tentang Nyi Ambu Hawuk yang kuat ditembak peluru kepada teman-temannya. Dia yakin kalau wanita tersebut adalah wanita sakti titisan Dewata. Lalu mengajak teman sekampung agar belajar berbagai kesaktian. Berguru ilmu sihir pada Ambu Hawuk.

Datang dari tiap kampung berbondong-bondong menemui Ambu Hawuk. Meminta agar sudi mengangkat murid. Berbagai hadiah diserahkan, makan enak, uang banyak, daging Ayam, daging Kambing dan sebagainya. Semuanya dihaturkan untuk Ambu Hawuk.

Hari berganti hari. Tahun berganti tahun. Guru Ambu Hawuk semakin terkenal. Buah bibir ditiap kampung. Didatangi berbagai orang. Semua berharap jadi pengikutnya. Berguru ilmu kebal peluru. Berlatih ilmu sakti dan sihir.

Setelah merasa jumlah murid cukup banyak. Guru Ambu Hawuk lalu mendatangi perkampungan dan pedesaan. Semakin banyak kampung didatangi, bertambah pula murid dan pengikut. Langkah perjalanan sampai di kampung Kolelega yang berada di bawah nagri Bandung distrik Tarogong. Setelah banyak yang takluk dan berubah menjadi pengikut setia, Ambu Hawuk mendengar bahwa ada satu kerajaan baru di pesisir pantai. Di sana telah berkumpul sepuluh Pangeran, yang selalu setia kepada Sang Pangeran Aria Raksaparadja.

Setelah berunding dengan para pengikut, Ambu Hawuk sepakat untuk pergi ke Raksaparadja. Para pengikut berjalan melalui kampung Cisurupan, kemudian ke Tegalpadung. Lalu sampai ke tempat istana Raksaparadja.

Penjaga benteng mengibarkan tanda. Benteng dadakan yang dibuat dari kayu dan bambu yang diruncingkan. Ada tamu seorang Guru sakti Nyi Dewi Ambu Hawuk! Dengan seragam dinas yang lengkap sepuluh Pangeran segera menyambut hormat.

“Putri Dewata,.. silahkan segera masuk ke Istana!”

Setelah masuk istana, Panembahan Raksaparadja segera menyambut dan mempersilahkan duduk di tahta singgasana.

“Panembahan! Hamba bersama para pengikut jauh-jauh datang kemari agar mendapat kemuliaan. Kemuliaan dari Panembahan yang telah termasyhur di Pasundan. Raja penguasa wilayah Sunda. Hamba ingin berserah ikut bergabung bersama Paduka!” Rayu Ambu Hawuk.

Raksaparadja sudah paham pada keinginan Ambu Hawuk. Segera dia dijadikan Ratu Prameswari Panembahan, Nyai Ratu Sekar Datulaya, dipanggil Neng Dewi Sekar Kadaton.

Sementara di tiap distrik …

Wedana Cidamar mendapat laporan ada pemberontakan di pesisir pantai. Kepala Karaman dikenal dengan nama Raksaparadja, dan istrinya Ambu Hawuk. Mereka memiliki banyak prajurit. Telah diangkat sepuluh pangeran. Dibentuk para prajurit yang saban hari diajarkan perang di Tegalan oleh para Senopati.

Segera Wedana Cidamar melapor ke Bupati nagri Cianjur:

Telah ada pemberontakan yang dikepalai Raksaparadja yang siap berperang. Dia datang dari nagri Bandung, dari desa Regol. Dia berasal dari Majalengka, dan menjadi guru ilmu sihir.

Segera Wedana Bungbulang melapor ke Bupati nagri Sukapura:

Telah ada pemberontakan yang dikepalai Raksaparadja yang siap berperang. Dia datang dari nagri Bandung, dari desa Regol. Dia berasal dari Majalengka, dan menjadi guru ilmu sihir.

Wedana Banjaran Aria Satjanagara pun mendengar kabar adanya pemberontakan. Telah banyak orang terpengaruh. Termasuk orang Pangalengan. Segera dia melapor ke Bupati nagri Bandung.

Kepada Bupati Bandung yang terhormat!

Telah ada pemberontakan di sisi sagara Cidamar – Kandangwesi. Yang menjadi lurah Karaman adalah Raksaparadja dari desa Regol, di sisi kota kraton Bupati. Asalnya dari nagri Majalengka. Sekarang telah mengumpulkan wadia-balad. Telah diangkat sepuluh senopati. Berita dari Polisi sépion gelap, Pangeran Génjreng menjadi senopati, Pangeran Bradjagélap menjadi Tamtama, Pangeran Bradjasakti, Pangeran Baradjagrantang, Pangeran Bradjagéni dan para pangeran lainnya. Dan ada satu wanita, yaitu Ambu Hawuk, asalnya orang Karang di bawah nagri Sukapura, dan telah menjadi istri permaisuri Raksaparadja. Itulah berita dari Polisi Rahasia.

Sembah Sujud ….

Satjanagara

Wedana Distrik Banjaran

Nagri Garut

Den Wadana panembong oendjoekan roesoeh …

Ka garoet ka Kanjeng Goesti …

Ka Dalem Dipati Loehoeng …

Segera Wedana Panembong melapor ke Bupati Garut:

Telah ada pemberontakan yang dikepalai Raksaparadja yang siap berperang. Raksaparadja datang dari nagri Bandung, dari desa Regol, yang asalnya adalah orang Majalengka, dan menjadi guru ilmu sihir.

Kemudian Bupati Garut pun segera memberikan berita ini kepada Bupati Sumedang. Sekarang telah ada lima para Bupati tanah priangan yang mengetahui pemberontakan Raksaparadja, yaitu: Bupati Cianjur, Bupati Bandung, Bupati Garut, Bupati Sukapura, dan Bupati Sumedang.

Lalu Bupati Garut segera mengumpulkan prajurit sebanyak enam puluh orang. Komandan prajurit adalah Den Djajalogawa. Sersan Belanda di nagri Garut Tuan Hejbran. Sersan Sunda yaitu Djajawigoena. Kopralnya bernama Suraniti. Biskopral bernama Astawana. Lalu dikumpulkan juga dua puluh orang jagoan, yaitu Den Danukoesoemah, Den Déndadilaga, Raden Wargadjibdja, dan Mas Djajasoeta. Asisten-Residen nagri Garut ketika itu bernama Tuan Van Der Moere, yang berpangkat Kashouder.

Dari Garut telah sepakat untuk menghancurkan pemberontakan. Mereka berangkat mengarah ke pesisir, mengambil jalan lewat Tegalpadung.

Nagri Cianjur

Ngotjapkeun soerat noe hidji…

Lapor wadana Tjidamar…

Geus katjandak koe pagoesten…

Bupati Cianjur, Kanjeng Dalem Aria Prawiradiredja sangat kaget mendengar laporan dari Wedana Cidamar. Segera Raden Patih dipanggil. Wadia-balad dikumpulkan. Alat-alat perang disiapkan, tombak, pedang, bedil, mimis, dan pistol.

Dalem Aria Prawiradiredja unjuk hadir menghadap Tuan Van Der Kapellen di kantor keresidenan. Menjelaskan perihal pemberontakan Raksaparadja. Seorang guru sihir dari Bandung, orang desa Regol, asalnya orang Majalengka. Dengan semua murid dan pengikutnya, telah diangkat 10 panglima perang. Mereka berasal dari kampung-kampung dan orang pinggiran pantai. Siap berperang membuat kerusuhan.

“Terima kasih, saya telah diberitahu. Sekarang Tuan Regent, silahkan bersiap sedia, kumpulkan komandan dan para prajurit. Lalu kita tangkap para pemberontak di pesisir Selatan!” kata Asisten Residen.

Lalu Residen segera membuat laporan kepada pemerintah di Batawi. Dan membuat surat perintah kepada para Bupati agar ikut serta memadamkan pemberontakan Raksaparadja.

Di kebupatian Cianjur.

Patih Aria Natanagara segera memerintahkan Ki Lengser agar memukul bénde di Paseban. Mengumpulkan semua prajurit agar bersiap diri. Enam puluh prajurit disiapkan. Kepala komandan bernama Raden Soerjanagara. Bersiap pula sersan, kopral. Kemudian dipilih para jagoan ketika itu, diantaranya Raden Djajabrata, Ateng Aliasgar, Abang Djereng, Abang Samirun, Ateng Widara, Raden Haji Ibrahim, Ateng Alimoedin, dan lainnya.

Setelah Asisten Residen Datang, Regent telah siap dengan pasukan. Diiringi para menak, senopati, tamtama, dan rakyat Cianjur. Semua mulai pergi berperang.

Nagri Bandung

Kertapati mawa surat

Ti Bandjaran langkoeng gasik …

Ka Bandung harita dongkap …

Disanggakeun ka Den Patih …

Ladjeng ka Kandjeng Goesti …

Bupati Bandung, Kanjeng Adipati Wiranata Kusuma kaget mendengar laporan itu. Pemberontakan yang didalangi oleh orang di kota Bandung, tepatnya dari desa Regol. Patih langsung diperintah menyiapkan wadia-balad. Lalu membuat surat ke lima belas distrik di Bandung. Tak luput juga Ki Lengser Sawali yang memukul bénde di Paseban, tanda semua prajurit harus berkumpul.

Bupati Bandung segera menemui asisten Residen Nagel di Lodji. Mengabarkan ada laporan dari distrik Banjaran tentang pemberontakan di daerah Selatan yang dilakoni oleh orang Regol dari Bandung, Raksaparadja. Bermarkas di sisi pesisir bawahan distrik Cidamar. Berbatasan dengan Kandangwesi. Nagel pun telah mengetahui hal tersebut, karena datang pula surat Residen di Cianjur.

Di Paseban telah berkumpul, Patih Bupati yang ditemani Demang Biskal Den Mangoennagara, komandan Mertadiredja, Koemétir Raden Mandoerarédja, dan para pejabat lainnya: Raden Sastranagara dan Kertakoesoemah. Setelah semua mengetahui perihal pemberontakan Raksaparadja, kumpulan dibubarkan untuk mempersiapkan perbekalan dan senjata.

Keesokan harinya, prajurit telah berkumpul kembali. Para Wedana dari lima belas distrik telah berdatang ke kota Bandung dengan senjata lengkap. Asisten Residen hadir, dan Bupati memimpin di atas kudanya yang bernama Si Megantara.

Boom… meriam pun ditembakkan sebanyak salikur (21) kali…

Rombongan perang bergerak melalui jalan Banjaran, Cimaung, Cikalong, Pangalengan, lalu ke Cidamar di Pantai Selatan. Sementara keraton di Bandung, yang tidak ikut serta dan ditugaskan untuk menjaga nagri adalah Patih Aria Angga Adikoesoemah, Raden Tumoenggoeng Adinagara, Juru Tulis Raden Natasoera, Asisor Bupati Raden Natadiradja, dan seorang umbul dari distrik Leles Raden Soemadiparadja.

Nagri Sukapura

Ajeuna anoe katjatoer …

Regen Soekapoera tampi …

Serat lapor ti Boengboelang …

Setelah mendengar laporan dari Wedana Bungbulang, Bupati Sukapura menerima surat dari Residen di Cianjur. Maka disiapkan empat puluh prajurit pilihan. Tetapi semua prajurit tersebut diserang dengan tiba-tiba di tengah hutan. Semuanya hampir mati, sebagian yang selamat lari ke nagri Sukapura melaporkan serangan tersebut.

Maka dikirim balabantuan dengan jumlah lebih banyak. Komandan parajuritnya adalah Wedana distrik Taraju Ki Mas Rangga Dipawangsa, yang disertai dua orang putranya Mas Nilasoeta seorang Sarapati di Manonjaya. Dan Mas Batawiria yang berpangkat senopati.

Pengepungan Panembahan Raksaparadja

Regent Cianjur telah sampai ke tempat Raksaparadja, di Tegal di sisi sagara sebelah Barat. Kemudian Residen segera memerintahkan untuk menyerang. Dari keraton Raksaparadja pun balas menyerang. Saling tembak meriah. Lalu dari sebelah Timur Datang wadia-balad dari Sukapura, lalu menyerang keraton Raksaparadja dari sebelah Timur.

Dari sebelah Utara datang pasukan Bandung. Lalu para prajurit bersiap. Perang pun dimulai di sebelah Utara. Datang dari arah Tegalpadung pasukan Bupati Garut. Pasukan terus merangkak perlahan. Saling tembak. Saling lempar tombak.

Mayat bergelimpangan di keraton Raksaparadja. Yang masih hidup segera kabur. Yang berhasil ditangkap, lalu diringkus. Yang kabur dikejar dan tertangkap di semak-semak. Setelah berhari-hari kabur mereka letih tidak makan.

Raksaparadja dan Ambu Hawuk pun berhasil kabur dengan lima belas pengikutnya, termasuk tiga orang Pangeran. Mereka lari kearah Timur. Di hutan Tegalpadung rombongan Raksaparadja bertemu dengan pasukan Sukapura pimpinan Wedana Taraju dan dua putranya. Perang tanding berkecamuk. Saling banting. Saling tebas. Saling pukul. Akhirnya sebagian rombongan Raksaparadja berhasil ditaklukkan, termasuk tiga orang pangeran.

Pasukan dari Cianjur berhasil menangkap Pangeran Baradjagelap, Pangeran Bradjagéni, Pangeran Géndjreng, dan Pangeran Ombaksagari.

Para pangeran ngaringkoek,

Djeung baladna paraprajurit,

Pirang-pirang anu beunang,

Koe balad bandoeng kagodi,

Koe tjianjur oge rea,

Ditalian pageuh tarik,

( Kinanti )

Sergapan Distrik Majalaya

Camat Majalaya Wirakoesoemah dan pasukannya melakukan penyergapan di tengah Gunung Wayang. Dekat hulu Citarum di sisi Cikundul. Gandek Camat bernama Bapa Kiar, Pacalang bernama Bapa Marti dari Desa Ibun, Pacalang Desa Nengkelan Bapa Sarwiém, dan Pacalang Ciburial bernama Bapa Djahid.

Datang rombongan Raksaparadja.

Tjamat ngomong he Karaman koedoe taloek…

Koe kami rek ditjangkalak…

Maneh oelah loempat deui …

Raksaparadja menyerang Wirakoesoemah. Saling tebas pedang. Saling tangkis. Wirakoesoemah terus diserang Raksaparadja. Bapa Kiar menarik Baju Mas Camat dan terus berada di belakangnya. Bapa Sarwijém kena pukulan tak sadarkan diri. Kepala Bapa Djahid pun terkena pukulan keras, lalu lari sempoyongan dan jatuh ke jurang. Bapa Marti tertangkap oleh pasukan Raksaparadja, dibanting, ditarik dan digusur.

Perang tanding Raksaparadja dan Mas Wirakoesoemah semakin sengit. Raksaparadja tidak kuat, lalu kabur. Camat hanya berhasil menangkap seorang yang bernama Pangeran Gédoeghalimoen anak Ratna Dewi Ambu Hawuk, asal Karang. Camat sangat marah pada gelagat tawanannya, lalu dicekik hingga rubuh. Bapa Kiar segera mengikat tawanan itu.

Wirakoesoemah membawa tawanan ke Pangalengan. Lalu menemui Bupati Bandung untuk melapor, mulai dari penyergapan sampai ditangkapnya tawanan ini. Tawanan diperiksa oleh Bupati. Lalu Camat menjelaskan bahwa tawanan ini bernama Pangeran Gédoeghalimoen anak Ratna Dewi Ambu Hawuk, nama aslinya Madjasim asal Karang.

Dalem Bandung sangat gembira. Lalu Wirakoesoemah diberi gelar kehormatan dan keberanian yaitu Raden Raksanagara. Bapa Kiar diberi hadiah 25 bau sawah dan harus pindah ke dayeuh Bandung. Sementara Bapa Djahid akhirnya bisa kembali selamat setelah lari dari serangan pasukan Raksaparadja. Sementara Bapa Marti yang tertangkap dibunuh oleh Raksaparadja di tengah Gunung.

Gugurnya Petinggi Kancil Nalawangsa

Setelah kewalahan melawan sergapan Wirakoesoemah, Raksaparadja, Ambu Hawuk, dan pasukannya yang tersisa lari melalui Kolelega. Di Kolelega, Raksaparadja disergap oleh Petinggi Kancil dan para polisi. Petinggi Kancil bernama Nalawangsa. Kancil berada di distrik Wanakerta di bawah nagri Garut.

Kedua pasukan bertemu. Perang tanding pun semakin sengit. Raksaparadja langsung menyerang Petinggi Kancil. Saling tebas. Saling tangkis. Petinggi Kancil terkepung pasukan Raksaparadja. Lalu mereka menyerang, menebas dengan keras Petinggi Kancil. Tubuh Petinggi Kancil rusak berdarah. Sebagian teman-temannya kalah dan kabur menyelamatkan diri. Nalawangsa akhirnya gugur.

Setelah perang mulai selesai. Pasukan Raksaparadja langsung lari menelusuri gunung kearah Timur. Bertujuan ke Majalengka. Di tengah jalan rombongan sementara bermarkas dulu di puncak Gunung Galunggung.

Melihat pasukan Raksaparadja telah pergi, mayat Petinggi Kancil Nalawangsa diambil oleh teman-temannya. Dikubur ditempat gugurnya, di atas Gunung Daradjat. Kuburan itu ada sampai sekarang.

Sok rea anoe njalékar,

Ka Mas Nalawangsa makam Patinggi,

Djalma satia mitoehoe,

Kana parentah menak,

Toeroeg2 maot sabil’oellah aloes,

Poepoes dina pangpérangan,

Teu moendoer doegi ka mati

Pasukan Nagri Sumedang

Kotjap kandjéng dalém Soemédang keur mégat…

Di Tasikmlaja districk …

Geus sayagi pisan …

Bupati Sumedang dan para Wedana menjaga perbatasan Tasikmalaya. Dengan pasukan bersenjata lengkap. Wedana Malangbong Raden Soerajoeda berjaga di distrik Indihiang, ditemani Madhasan. Bersama Wedana Indihiang Mas Paranadita yang dikawal Joedamanggala dari Cisayong.

Terdengar kabar angin bahwa Camat Majalaya dan pasukannya telah mati ketika berperang dengan Raksaparadja. Sebab Raksaparadja sangat sakti dan kuat. Malah Petinggi Kancil telah terbunuh di Gunung Daradjat. Mendengar kabar itu, penduduk Indihiang dan Tasik gempar dan khawatir. Semua harta benda disembunyikan. Sebagian lalu mengungsi.

Bupati Sumedang memerintahkan tiap distrik agar menenangkan masyarakat. Supaya tidak takut. Harus berani membela. Setelah ditenangkan, rakyat pun menjadi berani kembali ke rumah masing-masing.

Ditengah ricuh dan tegang di distrik Indihiang.

Datang dua orang dari nagri Kuningan berjalan melewati gunung-gunung. Ditengah gunung yang sepi keduanya bertemu rombongan Raksaparadja yang sedang melarikan diri dan bersembunyi di Gunung Galunggung. Mereka dirampok. Uang dan barang dirampas. Lalu dibawa ke Raksaparadja yang sedang kelaparan. Mereka hanya berbekal umbi-umbian, akar-akaran, dan pucuk bambu. Raksaparadja menyuruh mereka berdua untuk turun ke desa sambil membawa uang, dan kembali dengan membawa beras, garam, ikan, dan terasi. Karena takut, keduanya menuruti keinginan sang Panembahan dan Putri Prameswari Dewi Hawuk.

Akhirnya kedua orang Kuningan tadi sampai di kampung Cisayong. Kebetulan mereka bertemu dengan Joemanggala. Keduanya ditanya:

“Kamu berdua dari mana? Harus terus terang dengan benar! Ada perlu apa datang kepada kami.” Tanya Joedamanggala.

“Kami berdua diperintah Raksaparadja agar membeli makanan, beras, ikan, garam, dan terasi. Ini uangnya berjumlah sepuluh rispis!” jawab mereka ketakutan.

Petinggi Cisayong kaget tak kentara.

“Apakah itu benar?”

“Mereka berada di dataran puncak gunung Galunggung. Kepalanya bernama Raksaparadja. Ditemani sepuluh orang termasuk istrinya Ambu Hawuk.”

Dengan penuh gembira Petinggi segera menyuruh dua orang tersebut agar kembali ke persembunyian Raksaparadja sambil membawa makanan pesanannya. Tapi ketika sampai, agar diberitahukan bahwa di bawah sana ada tempat aman yang dihuni dua buah rumah. Lalu mereka pamit.

Kemudian Joedamanggala segera melapor ke Wedana Malangbong Den Soerajoeda dan Wedana Indihiang Mas Paranadita. Mereka bersiap. Pasukan dan polisi dilengkapi dengan senjata perang. Ketiga petinggi tersebut segera maju ditemani oleh para Lurah dan petinggi lainnya.

Raksaparadja setelah mendapatkan makanan yang enak-enak, tergiur berita dua orang tadi. Dengan gembira rombongan turun gunung ke kampung Cisayong.

Di tengah jalan yang agak sempit. Para Wedana, Petinggi, dan pasukan bersembunyi siap menyergap. Ketika rombongan Raksaparadja tepat ke tempat itu. Pasukan langsung menyerang. Raksaparadja langsung menebaskan pedang. Saling serang. Saling tangkis. Pasukan Raksaparadja kewalahan. Kurang tenaga karena sekian lama berjalan. Kurang makan dan istirahat membuat mereka kelelahan. Raksaparadja lemas. Tangan kanannya terkena sabetan pedang Mas Patinggi. Darah bercucuran. Raksaparadja diserang bertubi-tubi. Kali ini dadanya yang jadi incaran. Lalu dia melompat. Sempoyongan. Lalu jatuh ke dalam jurang yang baru saja longsor. Terguling-guling masuk lumpur di bawah jurang dengan luka yang menganga bekas sabetan pedang Petinggi.

Pasukan Raksaparadja pun tak kalah sengit menyerang pasukan Wedana. Seorang karaman menyerang Wedana Soerajoeda. Saling banting saling tangkis. Akhirnya karaman kalah terbunuh. Seorang karaman menyerang Wedana Paranadita, lalu ditebas pinggang Karaman. Seorang karaman menyerang seorang Petinggi, lalu ditebas leher karaman. Tiga mayat pun bergelimpangan.

Pasukan Raksaparadja hanya tinggal lima orang, enam dengan Ambu Hawuk mereka menyerah. Sementara yang kedelapan adalah dua orang Kuningan yang menjadi spion polisi.

Semuanya takluk. Ditangkap dan diborgol. Dua orang Kuningan dijadikan saksi untuk memberikan keterangan, mereka berjasa karena menolong penangkapan rombongan Raksaparadja.

Tawanan diiring ke distrik Tasikmalaya. Dihadapkan ke Dalem Tasik. Dengan gembira, Bupati memberikan gelar Rangga kepada dua orang cutak yang berjasa, lalu jabatan dinaikkan menjadi Camat. Dua orang kuningan diberi hadiah uang seribu. Lima ratus tiap-tiap orang. Keduanya bersyukur lalu pamit pulang.

Dalem Tasikmalaya segera menulis laporan ke Residen di Cianjur, menerangkan pasukan Raksaparadja telah ditangkap.

Surat Rahasia Raksaparadja

Sebelum terjadi penyerangan besar ke markas Raksaparadja, dia mengutus seorang karaman untuk memberikan surat ke Patih Aria Angga Adikoesoemah dan Raden Djajakoesoemah.

Ditengah hutan, karaman itu bertemu dengan pasukan nagri Bandung pimpinan Raden Mértadiredja. Lalu karaman menghindar dan kabur. Melihat gelagat yang mencurigakan, pasukan Raden Mértadiredja langsung mengejar. Karaman tertangkap. Digusur. Digeledah. Surat yang disembunyikan pun jatuh ke tangan komandan. Melihat surat tersebut, komandan memerintahkan agar karaman itu dijaga oleh empat orang. Tangannya diborgol. Ketika perang berkecamuk, si karaman dijaga dibelakang pasukan Raden Mértadiredja.

Lalu surat rahasia diserahkan kepada Dalem Wiranatakoesoema yang sedang berada di pesisir laut. Si karaman ditanya:

“Kamu sebenarnya mau ke mana? Dan nama kamu siapa? Jawab yang benar! Jangan berbohong!”

“Gusti Dalem, rumah saya ada di dalam nagri Bandung, tepatnya di Regol. Nama saya Mastawana. Sehari-hari saya mengikuti Raksaparadja. Saya ditugaskan ke Bandung untuk memberikan surat kepada Patih Aria dan Jurutulis Raden Djajakoesoemah.” Jawab karaman.

Kemudian Dalem Bandung segera memberikan surat ini kepada Residen yang masih berada di sisi Laut.

“Terima kasih atas kesetiaan Komandan yang sudah mendapatkan surat rahasia. Kesetiaan para Bupati sudah sangat terasa. Berhasil memadamkan pemberontakan sebelum menjadi kerusuhan dan huru-hara di dalam negeri. Semua telah binasa dengan kegagahan, kesetiaan, dan keperkasaan para Bupati.” Kata Residen.

“Sekarang Patih Bandung dan Juru tulis harus segera dibuang. Segera bawa ke Cianjur bersama dengan para pemberontak yang tertangkap. Dan sekarang semua silahkan pulang ke nagri masing-masing dengan selamat!” lanjutnya.

Para Bupati, para Wedana, para komandan, para prajurit, dengan semua tawanan dan harta rampasan berbondong-bondong kembali ke nagri masing-masing. Di sisi laut Kidul penuh dengan rombongan-rombongan. Ada yang ke Timur. Ke utara. Dan ke Barat. Ada yang membawa rampasan. Yang terluka dan masih bernyawa diangkat memakai tandu. Semua riuh ramai berteriak kemenangan.

Sambutan di Dayeuh Bandung

Sementara di dayeuh Bandung semua sibuk menyambut prajurit yang menang perang. Semua hiburan disiapkan di Paseban. Makan siap dihidangkan. Semua gembira. Para menak senang dengan kemenangan ini. Para petinggi sibuk menyambut Bupati dan pasukannya di keraton.

Tetapi lain hal dengan Raden Aria Patih dan Jurutulis. Mereka mendapat ilapat yang tidak enak. Ada apa gerangan! Ibarat akan datang ajal dari Allah. Terdengar kabar yang tidak enak. Membuat tidur susah hati gundah. Tapi semua adalah jalan Yang Kuasa.

Setelah Dalem Bandung dan Asisten Residen berada di keraton. Den Ayu Parameswara menyambut kedatangan mereka. Makanan telah dihidangkan di atas meja. Dipersilahkan duduk di atas alkétip, yang merupakan bagian dari adat Sunda. Diluar Puri gamelan ditabuh. Goong Degung dimainkan. Tanjidor dimainkan di babancong dayeuh. Salendro dimainkan oleh Réngit yang berasal dari Mataram. Yang bernyanyi dengan indah adalah Nyi Pajo dari Bandung.

Semuanya berpesta. Tak ada yang ketinggalan. Setiap hari pesta sampai setengah bulan lamanya. Pesta nadar keselamatan.

Di lain tempat.

Aria Patih dipanggil oleh Dalem Bandung. Diperintah harus segera menghadap ke Residen di Cianjur. Patih Aria Angga Adikoesoemah dan Raden Djajakoesoemah, dibawa ke Cianjur dengan kawalan Tumenggung Raden Adinagara, mantri Raden Sastranagara, dan Koemétir Raden Mandorarédja.

“Gusti Dalem, sebenarnya ada gerangan apa hamba dipanggil ke Cianjur?”

“Saya tidak tahu banyak. Lihat saja nanti di Cianjur, apa yang akan dikatakan Tuan Residen. Yang pasti, kalau dipanggil pasti ada urusan. Jangan bertanya pada saya, Tanya saja diri Aria Patih sendiri, sebenarnya apa yang sedang dirasakan!”

Dijawab demikian, Raden Patih pamit sambil menangis meminta ampunan dari Kanjeng Dalem.

Arja Patih njémbah bari nangis,

Doeh Padoeka Goesti anoe moelja,

Njoehoenkeun hapoentén géde,

Pangampura disoehoen,

lépat abdi goesti pamoegi

dampal Dalém ngampoera,

ka abdi noe loepoet,

kandjeng Bopati ngandika,

koela sédja hapoentén pisan ka Patih,

koemambang Noe Kawasa,

(Dangdanggula)

Vonis Angga Adikoesoemah

Kepulangan Kanjeng Adipati Prawiradiredja dan Resisden disambut dengan meriah di dalam kota. Meriam ditembakkan 25 kali. Kesenian Lisung, Karinding, dan Gamelan ditabuh. Setelah perang menaklukkan pemberontakan, sambutan ini membuat para prajurit bergembira.

Di satu kesempatan.

Dalem Prawiradiredja dan Tuan Residen sedang bersantai di Lodji. Lalu datang Patih Bandung Angga Adikoesoemah yang dikawal oleh Sastranagara, Adinagara, dan Mandoediredja. Lalu Patih Bandung diperiksa oleh Jaksa nagri Cianjur di depan Dalem Cianjur dan Tuan Residen.

Setelah pemeriksaan selesai. Surat dilayangkan untuk meminta keputusan Tuan Besar di Batawi. Tak lama. Vonis pun telah turun. Patih Bandung dihukum buang ke Selong selama dua puluh tahun. Angga Adikoesoemah berat menerima keputusan ini. Air mata tak tertahankan. Perpisahan dengan anak istri tak terelakan. Jabatan dicabut dengan tidak hormat. Dengan perih akan cobaan Angga Koesoemah bermunajat:

………….

Ja Allah noe Moelja,

sédja tobat djisim abdi,

néda dihampoera dosa

teu roemaos djisim abdi gindi-pikir, hénteu owah niat, teu gadoeh dosa saeutik, piténah Raksaparadja.

Dalah Koemaha atoeh diri sim abdi, geus doegi ka goerat, teu rumasa gindi-pikir, naon kaboektianana.

Amoeng moega2 bae diri abdi, kenging kaslamétan, koe pitoeloengna Jang Widi, djeung sapa’at Rasoe’oellah.

Soegan bae djaga-djagana di akhir, aja pangbalésna, ka poetra-poetrana sami, diboeang tjara kaoela,

Katarima koe Gusti Jang Maha Soetji, soepata Aria, disaksian koe Jang Widi, sarawoeh koe Malaikat.

(Maskumambang)

Pesta Kemenangan di nagri Garut

Kotjapkeun nagara Garoet,

Kandjeng dal ém prantos tjoendoek

Kedatangan pasukan nagri Garut disambut meriah. Dalem Garut dielu-elukan. Tuan Kashouder, Tuan Van Dér Moer, dan pasukan beristirahat menikmati sambutan dari rakyat Garut. Mereka bersukaria. Meriahkan kemenangan sebagaimana yang diadakan di Bandung dan Cianjur.

Diceritakan bahwa Tuan van der Moer selanjutnya diangkat sebagai Residen di nagri Cianjur, kemudian dia pindah ke Bandung tepatnya di Cicendo. Para pemberontak yang takluk dibelenggu. Lalu di penjara. Setelah itu mereka dikirim ke Cianjur.

Pesta di alun-alun Garut dimeriahkan dengan pagelaran Ujung (oejoeng) yang sudah biasa diadakan di Garut. Para pemain Ujung saling pukul dengan rotan. Ujung dimainkan oleh laki-laki yang kuat dan berani, memakai pakaian yang bagus, dan memakai topeng balakoetak. Topeng terbuat dari bahan kulit berwarna ungu, ada juga yang berwarna hitam. Lalu dipakai di kepala dengan tali. Tali ditarik di Dagu (tali ngangreud dina gado). Topeng balakoetak berwajah lucu. Bentuk topengnya sangat bagus seperti topeng-topeng dari Wayang Golek. Pemain memakai celana Sontog. Bajunya terbuat dari sutra yang berwarna hijau atau ungu dengan desain seperti Joki kuda balap. Lalu ujung dimainkan dengan iringan gamelan. Para emain Ujung mulai menari dengan gaya menantang lawanya. Kemudian mereka maju saling pukul.

Dengan rotan sebesar jari. Pemain Ujung saling tebas. Saling pukul. Betis, Pinggang, tumit, dan Punggung jadi sasaran. Setelah mulai saling pukul, suasana memanas, lalu mereka menyerang menyergap lawannya. Perkelahian terjadi. Mereka saling dorong sampai lawannya rubuh. Pemain yang rubuh artinya dia kalah. Setelah merasa kalah, lawan langsung mundur dengan badan penuh memar biru bekas pukulan rotan. Badan para pemain biasanya memar-memar sampai seminggu. Demikian kesenian Ujung di Garut, sebagaimana halnya di Sumedang dan Sukapura. Hanya di Bandung dan Cianjur saja yang tidak ada permainan ini.

Sejarahnya Ujung dilarang dimainkan pada tahun 1871 M. Gubernur ketika itu tidak suka pada seni Ujung, maka dibuat aturan baru yang melarang Ujung karena merupakan kesenian yang tidak baik.

Sambutan Kemenangan Orang Sukapura

Kanjeng Dalem Sukapura dan pasukan telah datang ke alun-alun Sukapura. Semua berbahagia. Senapati Wedana Taraju Ki Mas Rangga Dipawangsa dengan Kuda jantan berwarna Abu-Putih dielu-elukan. Diiringi oleh Lurah Djoengdjang Karawat yang lengkap dengan seragam kewedanaan dan dilengkapi Pedang Panjang di pinggang. Demikian halnya dengan para pasukan lain yang dengan gagah menyambut sambutan orang Sukapura. Ki Mas Nilasoeta dan adiknya Batawiria berjalan dengan gagah merasa telah menang peperangan. Ketiga orang tersebut telah berperang adu tanding di Tegalan melawan Pangeran Goentoersagara, Pangeran Genjreng, dan Pangeran Ombaksagara. Mereka terluka tebasan ditubuh. Dibelenggu dan dipenjara dengan terluka. Gelar pangeran sudah tidak pengaruh lagi. Kembali ke asal dengan nama Bapa Radjiman, Bapa Kasman, dan Bapa Edeng.

Orang Sukapura berdatangan ke alun-alun. Pesta berlangsung lima hari lima malam. Kesenian Ronggeng, Ogel, Doger dan alat-alat kesenian ditabuh.

Pesta Orang Sumedang

Kepulangan Dalem Sumedang dan pasukan dari pemberantasan karaman disambut oleh orang Sumedang dan para menak di alun-alun. Para Karaman banyak tertangkap oleh pasukan Sumedang di daerah Indihiang.

Semua karaman yang berhasil ditangkap oleh lima pasukan Kebupatian Garut, Bandung, Cianjur, Sumedang, dan Sukapura dikirimkan ke keresidenan di Cianjur.

Vonis Jurutulis

Raden Djajakoesoemah telah berangkat dari Bandung ke Cianjur untuk menerima vonis. Dibuang ke nagri Ambon selama dua puluh tahun. Hampir semua karaman pun dihukum dua puluh tahun lamanya. Kecuali bagi Ambu Hawuk, hanya dihukum selama lima tahun di Surabaya.

Jabatan Patih Bandung diserahkan kepada Raden Adinagara, menjadi Aria Patih Bandung Raden Adinagara. Jabatan Tumenggung kantor Bupati yang mengepalai Jurutulis dijabat oleh Den Soemajoeda, yang asalnya sebagai jurutulis Koemétir Mandoerarédja. Pengganti Djajakoesoemah adalah jurutulis Paseban yaitu Satjakoesoemah.

Duapuluh tahun kemudian …

Akhir cerita setelah dua puluh tahun lamanya. Raden Angga Adikoesoemah bisa pulang kembali ke dayeuh Bandung dengan selamat dan membawa seorang putra bernama Raden Djajamoestapa. Istrinya yang dahulu, Raden Ayu Simbar putri Dalem Kaum, kakaknya Bupati Bandung telah menikah kembali dengan mantan Biskal nagri yang bernama Raden Anggadinata.

Sementara Raden Djajakoesoemah tidak ada kabar berita setalah dibuang ke nagri Ambon. Ambu Hawuk setelah lima tahun masa pembuangan, bisa kembali ke tempat tinggalnya di distrik Karang hingga meninggal dunia.

Kitoe hikajat karaman, anoe koe abdi katoengtik, sakitoe katranganana, sésahna kaliwat saking, nja kenging bibirintik, ti sépoeh noe paos kalboe, noe langgéng emoetanna, namoeng eta doeka teuing, lamoen lépat moega néda pangampoera.

Hapoentén ka sadayana,

Ka noe ngaos ka noe ngoeping,

Ieu wawatjan karaman,

Kirang atanapi leuwih

Ménggahing dina dangding,

Moega sadaja ngama’loem,

Kérsa ngaleréskeunna,

Abdi sanes toekang dangding,

Noe diadjar ngarang the sabisa-bisa

Manawi djadi mangfa’at, ka sadaya moerangkalih, terang tjarios karoehoenna, soegan aya anoe hasil, pikeun misil ka diri, pieunteungen anoe hiroep, tamatna kole ngarangn,

Maart doea ploeh opat jakti, Slapanwelas ratoes poeudjoel genepwelas.

( Sinom )

rencananya mo dibuat novel or buku-lah smoga kesampaian untuk dipubliskan! doana wae....